ORANG DERMAWAN ITU LUAR BIASA
Ustadz : Luthfi Bashori
Tentang kemuliaan orang dermawan, Allah SW telah berfirman:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah, 2 : 174).
Seseorang yang diberi kemampuan oleh Allah dapat memberi bantuan kepada orang lain secara ikhlas dan tanpa pamrih, dapat menggembirakan dan membahagiakan hatinya yang paling dalam. Apalagi jika barang pemberiannya itu bisa bermanfaat bagi penerimanya. Maka yang akan dirasakan oleh si pemberi adalah bertambahnya kenikmatan hati.
Misalnya, ada seseorang yang dengan ikhlas memberi hadiah baju kepada kawannya. Selang beberapa saat, ia bertemu atau melihat kawan itu, memakai baju pemberiannya. Tentu karena ia melihat dengan mata kepala sendiri apa yang dilakuakan oleh kawannya, maka hatinya akan merasa berbunga-bunga, karena melihat sang kawan senang mengenakan baju hadiah tersebut.
Rasulullah SAW bersabda: “Kedermawanan itu adalah sebuah pohon di sorga, barangsiapa yang berkarakter dermawan, maka akan memperoleh cabangnya, lalu ia tidak akan melepaskan cabang itu sebelum dimasukkannya ke dalam sorga. Sedangkan kekikiran itu adalah sebuah pohon di neraka, barangsiapa yang bersifat kikir, maka akan memperoleh cabangnya, lalu ia tidak akan melepaskan cabang itu sebelum dimasukkannya ke dalam neraka.” (HR. Al-Baihaqi, Syu’abu al-Iman, 13 : 309)
Rasulullah SAW juga bersabda, “Orang dermawan itu dekat kepada Allah, dekat dengan sesama manusia, dekat dengan sorga, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari sorga, jauh dari sesama manusia, dekat dengan neraka. Sungguh seorang yang banyak salah (fajir) yang dermawan itu, lebih disukai Allah dari pada seorang yang tekun beribadah (‘abid) yang kikir. Penyakit hati manakah yang lebih berbahaya daripada kekikiran ?” (HR. Al-Baihaqi, Syu’abu al-Iman, 13 : 293)
Ketika Rasulullah SAW pertama kali tiba di Madinah, beliau SAW mendapati bahwa sumber air tawar yang dimiliki oleh kaum muslimin, jumlahnya sangat sedikit dan terterbatas. Karena itu mereka tidak dapat menjalani kehidupan dengan normal dan leluasa. Saat itu ada sebuah sumur (sumber air) milik orang Yahudi. Pemiliknya sengaja menerapkan sistem jual beli, khusus bagi orang-orang Islam yang akan mengambil air dari sumurnya itu.
Maka Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mau membeli sumur ini, kemudian ia meletakkan timbanya bersama dengan timba-timba milik kaum muslimin dengan kebaikan darinya, maka ia akan berada di dalam sorga.” (HR. An. Nasa’i, 3551).
Mendengar keterangan dan motivasi dari Rasulullah SAW ini, maka Sy. Utsman bin Affan RA pun berkenan membeli sumur tersebut untuk kepentingan umat Islam.
Imam Ibnul Barr meriwayatkan bahwa Sy. Ustman RA saat menawar sumur tersebut dari pemiliknya, si pemilik hanya setuju menjual separuh haknya dari sumur itu. Maka Sy. Ustman sepakat membeli separuh hak sumur itu dengan harga 12.000 dirham.
Sejak saat itu, Sy. Utsman RA bermitra dagang dengan si Yahudi pemilik sumur dengan perjanjian hak penggunaannya sesuai yang disepakati. Maka berlakulah aturan pembagian penggunaannya secara bergilir. Pada hari ke sekian menjadi hak milik si Yahudi, sedangkan pada hari berikutnya adalah haknya untuk digunakan oleh Sy. Utsman RA.
Tatkala tiba giliran hak Sy. Utsman, beliau pun mewaqafkan sumur itu untuk kepentingan seluruh umat Islam, hingga kaum muslimin dapat mengambil airnya secara gratis. Sejak itu pula umat Islam tidak lagi membeli air dari si Yahudi. Bahkan rugilah si Yahudi saat mengetahui siasat yang diterapkan oleh Sy. Utsman RA.
Melihat kedaan sedemikian rupa, akhirnya si Yahudi itu setuju untuk menjual seluruh hak kepemilikannya kepada Sy. Utsman RA, dan beliau pun menambah bayaran sebanyak 8.000 dirham. Jadi total harga keseluruhan hak kepemilikan sumur itu adalah 20.000 dirham.
Kemudian Sy. Ustman mewaqafkan sumur itu untuk umat Islam, hingga mereka bebas mengambil airnya setiap saat. Sumur itu masih ada dan lestari hingga kini, yang terletak sekitar 1 km dari Masjid Qiblatain.
Masyarakat Madinah hingga kini mengenalnya dengan sebutan Bi’ru Utsman. Seperti inilah salah satu bentuk sifat kedermawanan Sy. Utsman yang dicontohkan secara langsung untuk diteladani oleh umat Islam hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, penulis sudah beberapa kali mengunjunginya.
Sumber FB Ustadz : Luthfi Bashori