Kendala Terjemah Al-Quran (bag. 1)
by. Ustadz Dr. Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Al-Quran Al-Karim adalah kitab suci yang berisi berbagai petunjuk hidup bagi seluruh umat manusia, walaupun turunnya memang dalam bahasa Arab.
Karena tidak mungkin Al-Quran dalam ribuan bahasa yang berbeda. AL-Quran cukup pakai satu bahasa saja, yaitu bahasa yang dipahami oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai pihak receiver wahyu samawi.
Namun begitu, tetap saja karena kita bukan orang Arab, kalau kita baca Al-Quran, yang kita dapat sebatas pahala bacaan per huruf yang dijanjikan mendapatkan sepuluh kebajikan.
Adapun bagaimana bisa untuk memahami isi pesan Al-Quran, sudah pasti terlewat. Kendala bahasa itulah awal penyebabnya.
Dalam kondisi seperti itu, maka muncul upaya-upaya memahami Al-Quran lewat belajar menerjemahkan ayat-ayat Al-Quran. Mungkin maksudnya biar bisa memahami Al-Quran.
Tentu sebagai sebuah usaha, belajar menerjemah Al-Quran tidak salah, setidaknya sudah baik dari sisi niat dan motivasi. Walaupun begitu, yang jadi titik persoalan sebenarnya bukan disitu.
Masalah memahami Al-Quran bukan sekedar Al-Quran itu berbahasa Arab dan kita bukan orang Arab. Bukan itu masalahnya.
Sebab 300 juta orang Arab hari ini tidak otomatis jadi ahli tafsir Al-Quran, padahal setiap hari mereka bicara dan berkomunikasi dalam bahasa Arab. Tidak mentang-mentang bisa bahasa Arab, lantas kita bisa mengklaim sudah jadi ahli Al-Quran.
Sama seperti calon pilot di sekolah pendidikan penerbang. Buku-bukunya kebanyakan pakai bahasa Inggris. Tapi jangan pernah berpikir bahwa hanya dengan ikut kursus bahasa Inggris akan melahirkan para penerbang.
Menerjemahkan Al-Quran itu bukan pekerjaan yang boleh dilakukan oleh sembarang orang, sebagiamana pesawat terbang tidak boleh diterbangkan oleh lulusan kursus bahasa Inggris.
Walaupun buku manual penerbangan berbahasa Inggris, tetapi bukan berarti asalkan sudah bisa bahasa Inggris berarti bisa menerbangkan pesawat.
Terjemah Al-Quran itu sebenarnya merupakan karya tafsir. Maka syarat menerjemah harus seorang dengan kapasitas mufasir, bukan sekedar bisa cari makan bahasa Arab lewat Kamus.
* * *
Maka jangan terjemahkan sendiri ayat Al-Quran. Minimal gunakan hasil terjemahan yang sudah diakui semua kalangan. Sebutlah misalnya yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI.
Atau misalnya terjemahan karya mufasir Indonesia lainnya seperti Prof. Dr. Quraish Shihab atau pun terjemahan Buya HAMKA.
Jangan terjemahkan sendiri, karena rentan pemutar-balikan penerjemahan dan pembelokan makna.
Boleh jadi bukan karena disengaja, tetapi namanya suatu masalah tidak berada di tangan ahlinya, maka tidak ada jaminan hasilnya bisa benar.
(bersambung)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat