Menakar Kutipan Syaikh Ibnu Taymiyah (2)
Melanjutkan bagian pertama, tulisan ini masih tentang kutipan Syaikh Ibnu Taymiyah yang terbukti tidak akurat. Langsung saja, dalam kitab Manasik-nya ia mencatut nama Imam Malik untuk menguatkan pendapatnya yang melarang peziarah berdoa dalam posisi menghadap makam Nabi Muhammad sebab itu bid'ah menurutnya. Ia menulis:
ولا يدعُو هناكَ مُسْتَقْبِلَ الحجرةِ؛ فإنَّ هذا كلَّهُ مَنْهِيٌّ عنه باتِّفَاقِ الأئمةِ. ومالِكٌ مِنْ أعظمِ الأئمةِ كراهيةً لذلِكَ، والحكايةُ الْمَرْوِيَّةُ عنه: أنَّهُ أَمَرَ المنصورَ أنْ يستقبِلَ الحجرةَ وقتَ الدعاءِ؛ كَذِبٌ على مالِكٍ.
"Dan di area makan Nabi Muhammad jangan berdoa menghadap ke ruang makam. Sesungguhnya ini semua dilarang berdasarkan kesepakatan ulama dan Imam Malik merupakan tokoh yang paling tidak menyukainya. Adapun cerita yang diriwayatkan dari Malik bahwasanya ia memerintahkan al-Manshur untuk menghadap ruang makam saat berdoa adalah kebohongan atas Imam Malik." (Ibnu Taymiyah, Manasik al-Hajj, I/137)
Pernyataan di atas yang mencatut nama Imam Malik dan bahkan mengklaim Ijmak seluruh ulama dinukil lengkap oleh Syaikh al-Qasthalani dalam kitabnya yang berjudul al-Mawahib al-Ladunniyah (III/602). Lalu dalam Syarh kitab al-Mawahib tersebut, Syaikh az-Zarqani membahas panjang lebar kedustaan Ibnu Taymiyah tersebut. Ia berkata:
وأمَّا الدعاء فإن الجمهور ومنهم الشافعية والمالكية والحنفية على الأصح, عندهم كما قال العلامة الكمال ابن الهمَّام على استحباب استقبال القبر الشريف, واستدبار القبلة لمن أراد الدعاء,
"Adapun berdoa, maka mayoritas ulama, termasuk Syafi'iyah, Malikiyah dan yang paling sahih dari Hanafiyyah, sebagaimana dikatakan oleh al-Kamal bin al-Hammam, menganggapnya sunnah menghadap makam mulia Nabi Muhammad dan membelakangi kiblat bagi yang hendak berdoa".
Dari sini terlihat bahwa klaim ijmak (konsensus) para imam untuk melarang berdoa dalam posisi menghadap makam Nabi Muhammad adalah kebohongan. Faktanya justru mayoritas ulama empat mazhab menganggap sunnah menghadap makam dan membelakangi kiblat. Tanpa keterangan ulama pun naluri muslim pada umumnya akan merasa tidak sopan untuk berdoa sambil membelakangi makam nabi hanya untuk menghadap kiblat. Sama seperti ketika anda berhadapan dengan guru anda lalu berdoa bersama, tentu anda tidak akan nyaman memutar badan membelakangi guru anda saat berdoa tapi normalnya langsung berdoa di posisi awal anda yang sedang berhadap-hadapan. Ini naluri muslim yang normal yang menghormati orang di depannya, apalagi yang di depannya adalah makhluk yang paling mulia secara mutlak.
Kemudian az-Zarqani melanjutkan soal pencatutan nama Imam Malik tersebut:
"ومالك من أعظم الأئمة كراهية لذلك" يقال له: في أي كتاب نصَّ على كراهته، فإنه نصَّ في رواية ابن وهب عنه وهو من أجلّ أصحابه على أنه يقف للدعاء, وأقل مراتب الطلب الاستحباب. وجزم به الحافظ أبو الحسن القابسي وأبو بكر بن عبد الرحمن, وغيرهما من أئمة مذهب مالك, وجزم به العلامة خليل بن إسحاق في مناسكه، أفما يستحيي هذا الرجل من تكذيبه بما لم يحط بعلمه
"Malik adalah para imam yang paling tidak menyukai hal itu". Dikatakan pada Ibnu Taymiyah: "Di kitab yang mana Imam Malik menjelaskan ketidaksukaannya? Padahal sesungguhnya Imam Malik menjelaskan dalam riwayat Ibnu Wahb dari Imam Malik langsung, sedangkan Ibnu Wahb adalah salah satu muridnya yang paling agung, bahwasanya seseorang hendaknya berdiam untuk berdoa [di sana] dan minimal perintah tersebut bermakna sunnah. al-Hafidz Abul Hasan al-Qabisi, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para imam mazhab Maliki lainnya memastikan hal itu. Demikian juga turut memastikannya al-Allamah Khalil bin Ishaq dalam manasiknya. Maka apakah lelaki ini (Ibnu Taymiyah) tidak malu dari kebohongannya tentang apa yang dia tidak ketahui?" (az-Zarqani, Syarh al-Mawahib, XII/214)
Az-Zarqani lalu melanjutkan kajian sanadnya terhadap pernyataan asli Imam Malik. Di bagian akhir, ia kembali mempermasalahkan perkataan Ibnu Taymiyah yang menganggap bohong cerita bahwa Imam Malik menyuruh al-Manshur berdoa menghadap makam Nabi. Ia menjelaskan bahwa kisah tersebut ditulis oleh Abul Hasan Ali bin Qahr dalam kitabnya yang berjudul Fadha'il Malik dari jalur sanad yang tidak bermasalah dan tidak terdapat perawi pendusta atau pun pemalsu. Syaikh Az-Zarqani kemudian menyimpulkan bahwa tuduhan bohong tersebut muncul tak lain hanya karena ketika Ibnu Taymiyah membuat mazhab baru (mazhab bid'ah) yang tidak menghormati kuburan manapun, maka ketika ia tidak berhasil menemukan syubhat maka ia ganti menuduh bohong semua yang berlawanan. Pada akhirnya az-Zarqani menutup dengan closing statement:
وقد أنصف من قال فيه: علمه أكبر من عقله
"Sungguh objektif orang yang berkata tentang Ibnu Taymiyah: "Ilmunya lebih besar daripada akalnya". (az-Zarqani, Syarh al-Mawahib, XII/214-2015)
Jadi, jangan langsung percaya begitu saja klaim beliau sebab tak semuanya akurat.
Semoga bermanfaat
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad