ALUR BARAKAH
Meskipun sering kita dengar istilah "barakah guru", "barakah orang tua", "barakah ulama" dan semacamnya, barakah itu sendiri sejatinya bukan muncul dari guru, orang tua, ulama atau manusia lainnya. Alur barakah dimulai dari pemberian Allah pada hambanya yang berbuat baik dan ikhlas pada orang lain sesuai perintah Allah. Makna barakah di sini adalah bertambahnya nilai kebaikan dalam sesuatu.
Allah memerintahkan agar anak menghormati dan berkhidmah pada orang tua. Bila si anak melakukannya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, maka Allah akan memberinya barakah.
Allah memerintahkan untuk memuliakan Guru dan ahli ilmu, maka siapa pun yang memuliakan mereka dengan ikhlas maka akan mendapatkan barakah dari Allah sebab telah menjalankan perintahnya.
Demikian juga berlaku untuk barakah umum seperti barakah kaum muslimin, barakah orang miskin, barakah orang yang tidak mampu dan sebagainya adalah istilah untuk menggambarkan nilai tambahan kebaikan dari Allah bagi siapa saja yang memuliakan hamba-hambaNya tersebut.
Jadi, hakikat barakah bukan dari guru, orang tua, tokoh agama atau manusia mana pun yang tidak dapat memberi manfaat dan mudharat. Akan tetapi barakah dinisbatkan kepada mereka hanya sebagai majas. Kasusnya sama seperti rizki, meski secara zahir diberi oleh manusia tapi hakikatnya diberi oleh Allah sedangkan manusia hanya sebatas jalannya saja.
Sebab itulah, bila misalnya ada orang tua pilih kasih menganak-emaskan salah satu anaknya dan menomorduakan anak lainnya yang juga sama-sama berkhidmah kepadanya, maka belum tentu anak yang dianak-emaskan mendapat lebih banyak "barakah orang tuanya" yang pilih kasih itu. Biasanya justru anak yang dinomorduakan dan diperlakukan tidak adil mendapat lebih banyak barakah orang tuanya dibanding si anak emas. Hampir di semua kasus, anak emas justru hanya menjadi beban bagi orang tua di masa depan sedangkan anak yang diacuhkan dan sering dimarahi secara tidak adil malah banyak berkah dan bahkan bisa "membalas memberi barakah" pada orang tuanya di usia tua.
Kasus "barakah guru" juga sama; murid yang dianak-emaskan guru atau yang dekat dengan guru sebagai khadamnya belum tentu menjadi murid yang pulang dengan barakah paling banyak apalagi bila si murid sering mengeluh di belakang. Bisa jadi murid yang tidak pernah disapa oleh gurunya tapi selalu menjalankan perintahnya dengan baik, tidak pernah melanggar meski sendirian dan mencintai gurunya setulus hati dari kejauhan itulah yang pulang dengan barakah paling banyak, meski tak dikenal oleh sang guru sekali pun.
Sebab itulah kadang ada kasus di mana seorang penuntut ilmu hanya bisa berguru jarak jauh pada seorang guru, hanya bisa membaca karyanya saja atau hanya mendengar rekaman ceramahnya saja atau dengan kata lain hanya jadi "muhibbin" tapi mendapat barakah ilmu sang guru sebab rasa cinta dan penghormatannya yang besar itu. Logika di balik tawassul juga seperti ini. Misalkan salah satu dari kita berdoa kepada Allah dengan bertawassul dengan Syaikh Abdul Qadir atau waliyullah lainnya yang kita cinta dan hormati, maka besar kemungkinan Allah akan mengabulkan meskipun Syaikh Abdul Qadir atau wali lainnya sama sekali tidak mengenal kita sebab memang barakah bukan dari mereka tapi dari Allah yang Maha Melihat isi hati para hambanya yang mencintai orang yang dicintai oleh-Nya. Hanya saja sebagai sebuah istilah majas kita bilang bahwa ini barakah wali.
Jadi, amat keliru kalau ada orang yang merasa bahwa dirinya punya barakah dan merasa dapat menyalurkan barakahnya sendiri semau dirinya. Apalagi pakai ngancam-ngancam anak, murid atau kaumnya dengan ancaman "tidak dapat barakah". Ancaman seperti ini tak berdasar sebab alur barakah itu muncul awalnya dari Allah bukan dari dirinya. Bisa jadi justru bawahan yang diancam-ancam dengan perlakuan tidak benar akan mendapat barakah dan yang dipuji justru tak mendapat barakah apa-apa. Kalau jual beli barakah bagaimana, misalnya ada yang berkata bahwa kalau beli ini dari saya akan dapat barakah, kalau memberi uang ke saya akan dapat barakah? Anda pasti sudah tahu jawabannya sekarang.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad