Menjawab Narasi Kosong dari Kelompok Minoritas tentang Hari Raya
Seorang mahasiswa bertanya pada saya beberapa waktu lalu tentang Idul Fitri kemarin yang berbeda. Dia bertanya, bagaimana hukumnya orang yang bepuasa hari jumat padahal menurut Muhammadiyah jumat sudah hari raya, bukankah haram berpuasa di hari raya? Dia sempat goyah tentang keabsahan puasanya saat narasi pertanyaan seperti itu beredar luas di medsos. Saya menjawab: "Terbalik, justru pertanyannya seharusnya bagaimana hukumnya orang yang berhari raya di hari jumat padahal jumat masih Ramadhan?".
Pertanyaan semacam itu hanya narasi kosong dari orang yang merasa bahwa patokan kebenaran adalah pendapatnya sendiri. Jawabannya pun tinggal dibalik logikanya dengan menjadikan patokan kebenaran adalah pendapat lainnya. Saya akhirnya menjelaskan beberapa teori penetapan awal bulan, mulai dari pendapat mayoritas ulama di dunia sejak era salaf hingga sekarang dan juga pendapat-pendapat lemah yang berbeda dari itu. Dalam kasus Ramadhan lalu, justru pendapat mayoritas ulama adalah sabtu sesuai hasil rukyat. Soal rukyah ini sudah saya bahas pada beberapa postingan menjelang Idul Fitri lalu.
Hal yang sama akan terjadi sekali lagi pada Idul Adha ini. Kawan-kawan Muhammadiyah dengan memakai teori wujudul hilalnya mendeklarasikan bahwa besok (senin, 19 Juni 2023) adalah tanggal 1 Dzul Hijjah sehingga hari raya Adha jatuh pada hari Rabu 28 Juni 2023. Secara hisab, dengan memakai kota saya (jember) sebagai patokan, tinggi hilal nanti malam masih 0,3 jadi mustahil bisa dilihat manusia. Silakan lihat gambar di bawah di mana hilal masih tenggelam sepenuhnya dalam cahaya matahari sebab tingginya masih terlalu rendah sehingga mustahil ada manusia melihatnya, meskipun ada oknum yang bersumpah melihat sekalipun.
Sesuai pedoman dari Nabi Muhammad ketika hilal tidak dapat terlihat, maka besok senin masih dianggap sebagai akhir bulan Dzul Qa'dah sehingga tanggal 1 Dzul Hijjah adalah besok lusa hari selasa. Dengan demikian, Idul Adha jatuh pada hari kamis tanggal 29 Juni 2023. Pedoman dari Nabi ini adalah yang dipakai oleh mayoritas ulama di dunia sejak era salaf hingga kiamat sebab keabsahan memulai ibadah sifatnya adalah ta'abbudi seperti telah saya tulis menjelang Idul Fitri lalu. Tentu saja, selalu ada pendapat lain yang diikuti minoritas dan pada prinsipnya kita tetap menghargai mereka.
Jadi, bila nanti ramai lagi narasi pertanyaan "bagaimana hukum orang yang berpuasa Arafah hari rabu padahal hari rabu sudah hari raya?", maka jawab saja: "Itu terbalik, yang paling pas pertanyaannya adalah bagaimana hukum berhari raya dan menyembelih kurban di hari rabu padahal rabu adalah hari Arafah?". Jawaban ini akan menghentak kesadarannya.
Ohya, bagi kawan-kawan yang nanti tetap berhari raya Adha pada hari rabu, okelah kita sepakat berbeda pendapat soal hari rayanya, tapi hemat saya sebaiknya menyembelih kurbannya dilakukan di hari kamis sebab dengan demikian ibadah kurbanya akan sah menurut semua pendapat sambil mengamalkan kaidah الخروج من الخلاف مستحب (keluar dari kontroversi adalah sangat dianjurkan).
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad