Status Hadits
Oleh Ustadz : Rahmat Taufik Tambusai
Selama ulama hadits berbeda dalam menentukan status suatu hadits, tidak selayaknya kita menuduh orang yang menjadikan hadits tersebut sebagai dalil dalam beramal sebagai pelaku bidah, syirik, sesat dan kafir.
Kecuali seluruh ulama hadits telah menetapkan bahwa status hadits tersebut maudhu, mungkar dan palsu, maka tidak layak hadits tersebut dipakai sebagai hujjah dan dalil dalam beramal.
Tetapi ketika ulama hadits berbeda menentukan status hadits tersebut, ada yang menetapkan dhaif, ada yang menetapkan hasan li ghairihi atau hasan dan shohih maka kita tidak boleh memvonis hadits tersebut dengan hanya satu pendapat ulama, karena kedudukan ilmu ulama tersebut sama.
Yang bisa kita lakukan adalah menyampaikan seluruh pendapat ulama berkaitan status hadits tersebut, lalu mengatakan saya lebih cenderung kepada pendapat ulama yang mengatakan bahwa status hadits ini hasan, maka saya jadikan sebagai dalil dalam beramal.
Ketika kita menjumpai dalam satu tulisan atau ceramah seorang ustad mengatakan hadits ini dhaif, maka tidak serta merta mengganggap hadits tersebut tidak layak dipakai, karena bisa jadi ustad tersebut hanya mengambil satu pendapat ulama dalam menentukan status hadits tersebut, sedangkan ulama yang lain menetapkan hadits tersebut dengan hasan.
Hadits - hadits yang dipakai oleh pendiri Mazhab merupakan hadits yang telah melalui seleksi yang ketat, sehingga tidak layak memvonis amalan mereka dengan tuduhan bidah, disebabkan oleh penilaian seorang ulama bahwa status hadits yang dipakai dhoif.
Sedangkan penilaian ulama mazhab dan ulama hadits yang lain, bahwa hadits tersebut bukan dhaif, sehingga dijadikan sebagai dalil dalam beramal.
Karena label bidah ditujukan untuk amalan yang tidak ada sandarannya dalam syariat dan bertentangan dengan syariat, jika ada sandarannya, maka amalan tersebut bagian dari syariat.
Apabila suatu amalan ada sandarannya dalam syariat, lalu dibidahkan maka perbuatan tersebut lebih buruk dari pada pelaku bidah, karena membuang dan mengurangi syariat, bukankah ini lebih berbahaya ?
Penilaian status hadits antara satu ulama dengan ulama yang lain, telah melalui seleksi yang ketat, sehingga jika terjadi perbedaan dalam menetapkan statusnya, maka tidak bisa membatalkan status yang telah ditetapkan ulama yang berbeda dengannya.
Bagi kita orang awam, jika disuguhkan bahwa hadits ini dhaif, maka tanyakan, dhaif menurut ulama siapa ? apakah semua ulama hadits mengatakan bahwa hadits ini dhaif ? apakah ada ulama hadits mengamalkannya ? jika ada ulama hadits mengamalkannya, maka ulama tersebut lebih paham dari yang berkoar koar memvonis bidah karena beramal dengan hadits dhaif.
Ulama aswaja menggunakan pendapat syekh albani dalam menghukum status hadits, bukan karena syekh albani diselevelkan dengan ulama hadits yang menjadi pegangan aswaja, tetapi hanya untuk membungkam pengikut wahhabi, bahwa syekh albani juga menetapkan hadits tersebut tidak dhaif.
Karena wahhabi hanya yakin kepada syekh albani dan penerusnya, suatu hadits jika belum diteliti oleh syekh albani maka statusnya belum diakui oleh pengikut wahhabi.
Kalau pun syekh albani menetapkan dhaif, maka tidak otomatis tidak layak dipakai sebagai hujjah, karena ada ulama yang lebih tinggi level ilmunya dari syekh albani yang menetapkan tidak dhaif.
Bagi muslim yang cerdas pasti lebih memilih ulama level ilmunya yang lebih tinggi, dan lebih memilih ulama asli ahli hadits yang hafal ratusan ribu hadits.
Dalu - dalu, Jumat 5 Mei 2023.
Yuk umroh yang minat hubungi kami.
AZKIA TOUR & TRAVEL
#BanggaMenjadiPelayanTamuAllah
#MenjadiPelayanTamuAllahJalanHidupKami
Sumber FB Ustadz : Abee Syareefa