Zakat fitrah pakai beras atau pakai uang? Pakai ukuran 2.2 kg atau 2.5 kg atau 2.75 kg? Masalah lama yang senantiasa abadi untuk dibahas.
Jika ingin lebih wara', maka pakailah pendapat yang mengutamakan sikap kehati-hatian dan mu'tamad dalam madzhab kita, madzhab Syafi'i. Misal, kita keluarkan zakat fitrah pakai beras dan dengan ukuran 2.75 kg atau 2.9 kg atau 3 kg tentu sangat baik. Tetapi jika ada saudara kita yang menggunakan pendapat lain juga jangan lalu diinkari atau dikritik berlebihan. Itulah sikap moderat dan welas asih dari seorang ahli ilmu. Kitab al-Maqayiz misalnya, sebuah risalah kecil yang tercatat di akhir kitab al-Khulashoh al-Wafiyah (kitab falak), yang keduanya dikarang oleh Syaikh Zuber bin Umar al-Jailani Salatiga (murid KH. Ali Ma'shum Jombang, penulis kitab Fathul Qadir) dan telah mendapatkan apresiasi dari Syaikh Yasin al-Fadani, dalam konversi zakat fitrah dengan beras, menetapkan 2.2 kg.
Sama seperti polemik makna "sabilillah" untuk selain orang-orang yang aktifitasnya jihad fisabilillah. Jika anda memilih pendapat yang wara' dan mengedepankan sikap kehati-hatian, maka jangan gunakan pendapat tersebut. Tetapi jika ada saudara kita yang memilih pendapat sebaliknya, kita juga harus bisa bersikap moderat bahwa masalah ini adalah khilafiyah.
Kemudian jika ada saudara kita yang hendak mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, maka kita bisa menasehatkan untuk membeli beras saja. Jika tampak keberatan, maka kita bisa arahkan mengikuti mazhab Hanafiyah atau sebagian Malikiyah yang membolehkan zakat fitrah dengan uang. Dan sepengetahuan saya, standard sho' Malikiyah adalah sama dengan Syafi'iyah, hanya saja mustahiq zakat fitrah dalam mazhab Maliki terbatas fakir dan miskin saja.
Lalu bagaimana dengan standar sho' 2.9 kg beras berdasarkan sho' Nabawi dan diklaim memiliki sanad musalsal hingga (masa) Rasulullah? Saya jawab, jika sekedar untuk tabarruk atau ihtiyath (hati-hati), menurut saya tak masalah menggunakan sho' yang diyakini sama dengan sho' Nabi tersebut. Tetapi menggunakannya sebagai standar kebenaran tunggal (yarfa'ul khilaf atau untuk menegasikan pendapat lain) juga tidak bisa diterima, karena sanad dari silsilah sho' tersebut pasti dipertanyakan. Andai itu benar tsabit dari Rasulullah ﷺ tentu ulama' fikih semuanya akan merujuk sho' tersebut. Belum lagi ada informasi yang menyatakan bahwa sebenarnya terjadi perbedaan konversi sho' Nabawi versi musalsal ulama' lain. Jika betul demikian, maka riwayat tersebut menjadi mudhthorib (goncang) dan menambah kedhaifan statusnya.
Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur