SHALAT LAILATUL QADAR ADAKAH ???
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Di sebagian masyarakat pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan ada yang mengerjakan shalat yang diistilahkan dengan shalat Lailatul Qadar. Yakni sebuah ibadah dengan niat dan tata cara tertentu yang bertujuan untuk meraih keutamaan malam Qadr.
Para ulama madzhab telah menegaskan bahwa jenis shalat ini termasuk perbuatan yang mengada-ada alias bid’ah munkarah yang hukumnya haram. Sebab ia disandarkan kepada hadits yang statusnya maudhu’ atau minimalnya sangat lemah sekali sehingga tidak boleh dijadikan hujjah.
Dalil yang digunakan oleh kalangan yang mengerjakan shalat ini adalah riwayat berikut ini :
مَنْ صَلَّى فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ مَرَّةً وَالْاِخْلَاصِ سَبْعَ مَرَّاتٍ فَاِذَا سَلَّمَ يَقُوْلُ أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ اِلَيْهِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلاَ يَقُوْمُ مِنْ مَقَامِهِ حَتَّى يَغْفِرُ اللهُ لَهَ وَلِأَبَوَيْهِ وَيَبْعَثُ اللهُ تَعَالَى مَلاَئِكَةً اِلَى الْجِنَانِ يَغْرِسُوْنَ لَهُ الْأَشْجَارَ وَيَبْنُوْنَ الْقُصُوْرَ وَيَجْرُوْنَ الْأَنْهَارَ وَلَا يَخْرُجُ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى يَرَى ذَلِكَ كُلَّهُ
“Siapa yang shalat dua rakaat ketika lailatul qadar, dalam setiap rakaat dia membaca al-Fatihah sekali dan qul huwallahu ahad 7 kali, setelah selesai shalat dia beristighfar 70 kali, maka selama dia masih di tempat shalatnya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan kedua orang tuanya.
Allah akan mengutus Malaikat untuk mencatat kebaikannya sampai tahun berikutnya, Allah juga mengutus Malaikat untuk menanam pohon miliknya di surga, membangunkan istana, dan mengalirkan sungai untuknya. Dan dia tidak mati sampai dia mellihat itu semua.”
Keterangan riwayat :
Sejauh penelusuran kami, “hadits” diatas tidaklah tercantum dalam kitab hadits manapun. Ia hanya ada dalam kitab yang sangat kontroversial Duratun Nashihin pada halaman 272 dan beberapa kitab semisal yang menukil tanpa memberi keterangan yang dibutuhkan dalam ilmu hadits.
Hampir tidak ada keterangan yang bisa diberikan atas “hadits” ini karena para ulama nyaris tak mengenal riwayatnya, karena hanya tercantum di kitab yang terbatas. Satu-satunya fatwa yang jelas memberikan keterangan adalah Lajnah Fatwa Syabakah Islamiyah berikut ini :
فلا شك في كون هذا الحديث كذبا مختلقا فلا تحل روايته ولا نسبته إلى النبي صلى الله عليه وسلم، ولا وجود لهذا الحديث في شيء من كتب السنة البتة، وعلامات الوضع والاختلاق بادية عليه
“Tak diragukan lagi bahwa keadaan hadits ini adalah dusta dan menyimpang. Tidak halal untuk diriwayatkan, juga tidak boleh dianggap sebagai hadis Nabi ﷺ. Hadits ini tidak pernah dijumpai sama sekali di kitab-kitab hadits apapun. Ciri palsu dan menyimpangnya sangat jelas.”[1]
Juga ketika kami cek ke situs Dorar, keterangannya adalah :
لا يوجد في كتب السُّنة
“Tidak ada dalam kitab-kitab sunnah.”
Selebihnya tak banyak kitab ulama yang mengulik riwayat ini, justru yang banyak saya dapati membahasnya adalah kitab-kitab Syi’ah seperti Mafatih Janan karya pentolan syiah Rafidhah al Qami, juga karyanya Majlisi dll.
Fatwa para ulama tentang shalat Qadr
Syaikh Muhammad Asy Syaqiri rahimahullah berkata :
وَصَلَاة لَيْلَة الْقدر ... هَذِه الْأَبْوَاب لم يَصح فِيهَا شَيْء أصلا
“Shalat Lailatul Qadr... ini adalah bab yang tidak ada asalnya sama sekali.”[2]
Shalat Lailatul Qadr ini disamakan kedudukannya dengan shalat bid’ah lainnya seperti shalat Raghaib yang para ulama melarang dengan tegas. Berkata Syaikh Zainuddin al Malibari rahimahullah :
ومن البدع المذمومة التي يأثم فاعلها، ويجب على ولاة الأمر منع فاعلها صلاة الرغائب اثنتا عشرة ركعة بين العشاءين ليلة أول جمعة من رجب. وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة، وصلاة آخر جمعة رمضان سبع عشرة ركعة بنية قضاء الصلوات الخمس الذي لم يتيقنه، وصلاة يوم عاشوراء أربع ركعات أو أكثر. أما أحاديثها فموضوعة باطلة، ولا تغترّ بمن ذكرها.
“Adalah termasuk perbuatan bid’ah tercela, dan pelakunya mendapatkan dosa, bahkan wajib bagi pemerintah untuk melarangnya, yaitu: shalat raghaib, yaitu shalat sunnah dua rakaat antara waktu shalat isya’ dan maghrib pada malam Jumat pertama dari bulan Rajab, shalat malam 100 rakaat pada pertengahan bulan Sya’ban.
Begitu juga shalat pada jumat akhir bulan Ramadhan, dengan niat mengganti shalat lima waktu yang pernah ditinggalkan, dan shalat empat rakaat atau lebih banyak pada hari Asyura. Sedangkan hadits-hadits yang menjelaskan tentang shalat tersebut merupakan hadits palsu (maudu’), dan jangan tertipu pada orang-orang yang menganjurkannya.”[3]
Anjuran umum
Namun demikian, hal yang sudah ma’fum adanya bahwa kita diperintahkan untuk memperbanyak ibadah di malam bulan Ramadhan terkhusus lagi di sepuluh hari terakhirnya sebagai upaya untuk meraih keutamaan malam Qadar. Disebutkan dalam hadits :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Ketika Rasulullah ﷺ telah memasuki sepuluh hari akhir dari Ramadhan, beliau ikat erat sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari)
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa beribadah pada lailatul qadar, karena iman dan mengharapkan pahala, maka dosanya yang telah berlalu akan diampuni” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibadah yang bisa dikerjakan ada banyak ragamnya, mulai dari dzikir, shalawat, membaca al Qur’an sedekah termasuk memperbanyak mengerjakan shalat sunnah. Shalat di sini bisa menambah raka’at Tarawih, Witir atau shalat sunnah mutlak.
Syaikh Abdul Hamid al Qudsi berkata :
فمن أراد الصلاة في وقت من هذه الأوقات، فلينو النفل المطلق فرادى من غير عدد معين، وهو ما لا يتقيد بوقت ولا سبب ولا حصر له، وبالله التوفيق.
“Barangsiapa yang hendak melakukan shalat pada waktu-waktu tersebut, maka hendaknya ia berniat melakukan shalat sunnah mutlak secara sendiri, tanpa ada ketentuan jumlah raka’at tertentu. Hal ini karena shalat sunnah mutlak tidak dibatasi dengan waktu, sebab, dan batasan rakaat shalat.”[4]
📜Wallahu a’lam
_____________
[1] Fatawa Syabakah al Islamiyah (1/5367)
[2] Sunan wal Mubtadi’at hal.156
[3] Irsyadul Ibad ila Sabilir Rasyad, hal. 68
[4] Kanzun Najah was Surur hal. 90.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq