Meninggal Dalam Kondisi Punya Hutang Puasa

Meninggal Dalam Kondisi Punya Hutang Puasa

MENINGGAL DALAM KONDISI PUNYA HUTANG PUASA

Seorang muslim yang meninggal dunia sebelum sempat membayar hutang puasa karena sebab tertentu yang dibenarkan oleh syariat, semisal ; sakit yang terus berkelanjutan, atau masih dalam kondisi safar, atau yang lainnya, maka orang seperti ini tidak berdosa dan tidak ada kewajiban lagi untuk membayar fidyah atau qadha (atas walinya).

Adapun jika ada kesempatan untuk mengqadha, akan tetapi melalaikannya sampai akhirnya meninggal, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab syafi’i.

Menurut qaul jadid (pendapat baru) imam Syafi’i, orang seperti ini wajib untuk dikeluarkan fidyahnya berupa makanan sebesar satu mud sesuai jumlah hari yang ditinggalkan yang diambilkan dari harta warisan yang dia tinggalkan. Jika dipuasakan, maka tidak sah. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab. Bahkan bisa dikatakan pendapat yang muktamad dan juga pendapat jumhur.

Dalilnya, hadis :

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

“Siapa yang meninggal dunia dan dia memiliki hutang puasa Ramadhan, maka dikeluarkan makanan (fidyah) darinya sesuau jumlah hari yang dia tinggalkan yang disalurkan kepada orang-orang miskin.” (H.R. At-Tirmidzi dan selainnya)

Selain hadis di atas, menurut pendapat ini, ibadah puasa itu termasuk ibadah badaniyyah (ibadah fisik) yang tidak bisa digantikan oleh orang lain, baik masih dalam kondisi hidup atau setelah wafat.

Pendapat kedua menyatakan, dianjurkan walinya berpuasa untuknya sesuai jumlah hari yang ditinggalkan. Hal ini telah mencukupi dari mengeluarkan fidyah dan telah bebes tanggungan mayit kelak di hari kiamat. Dasarnya hadis nabi saw :

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barang siapa yang meninggal dunia dan masih memiliki hutang puasa, maka walinya yang mempuasakan untuknya.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini merupakan qaulul qadim (pendapat lama) imam Syafi’i, dianggap shahih oleh sekelompok ahli tahqiq dari ulama syafi’iyyah, serta pendapat yang dipilih oleh Imam An-Nawawi rhm. Beliau (imam Nawawi) berkata :

وَهُوَ الْقَدِيمُ وَهُوَ الصَّحِيحُ عِنْدَ جَمَاعَةٍ مِنْ مُحَقِّقِي أَصْحَابِنَا وَهُوَ الْمُخْتَارُ أَنَّهُ يَجُوزُ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَصُومَ عَنْهُ وَيَصِحُّ ذَلِكَ وَيُجْزِئُهُ عَنْ الْإِطْعَامِ وَتَبْرَأُ بِهِ ذِمَّةُ الْمَيِّتِ ولكن لا يَلْزَمُ الْوَلِيَّ الصَّوْمُ بَلْ هُوَ إلَى خِيَرَتِهِ

“Pendapat kedua adalah pendapat lama imam Syafi’i, dan pendapat yang shahih menurut sekelompok para ulama ahli tahqiq dari mazhab Syafi’i. Dan ini merupakan pendapat yang terpilih, sesungguhnya boleh bagi walinya (mayit) berpuasa untuknya dan hal itu sah serta menucukupi bagi mayit tersebut dari dikeluarkan fidyah serta telah lepas tanggung jawabnya mayit nanti di akhirat. Akan tetapi puasa ini sifatnya tidak wajib bagi walinya, akan tetapi hanya bersifat pilihan.”(Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab ; 6/368)

Adapun hadis yang dipakai oleh pendapat pertama, adalah hadis yang dhaif (lemah) sebagaimana dinyatakan oleh Imam An-Nawawi rhm. Kemudian argument pendapat pertama bahwa puasa itu ibadah badan yang tidak bisa digantikan oleh orang lain, ini tidak sepenuhnya benar. Salah satu buktinya ibadah haji. Dalam ibadah haji, sah badal haji bagi orang yang telah meninggal padahal termasuk ibadah badan. (Simak ; Al-Iqna ; 1/242).

Wallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat.

(Abdullah Al-Jirani)

Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Meninggal Dalam Kondisi Punya Hutang Puasa - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®