Bani-Banian

Bani-Banian

BANI-BANIAN

Kemarin saya sowan ke salah satu Kyai. Di tengah obrolan, kami sampai pada bahasan Bani-banian. Biasalah, bulan Syawal ini banyak agenda silaturahmi Bani ini dan Bani itu. Beliau kemudian bercerita pernah bertemu dengan seorang Kyai lain yang tidak setuju pada adanya pertemuan Bani-bani. Ia berkata:

"Saya tidak setuju pada pertemuan Bani, termasuk baninya jenengan ini. Itu kan apa yang dulu diberantas habis oleh Rasulullah. Rasulullah dulu tidak menyukai perbedaan kelas sehingga memberantasnya hingga habis, Kyai-Kyai pesantren sekarang kok malah menghidupkannya lagi dengan membuat Bani ini dan Bani itu".

Beliau, yang saya sowani, berkata tidak dapat menjawabnya. Saya bilang bahwa sekarang bukan hanya di kalangan pesantren yang ada bani-banian. Orang umum juga membuat Bani mereka sendiri. "Jadi, bermaksud silaturahmi saja ya?", tanyanya. Saya jawab, "Ya".

Bani-banian kalau dimaksud sebagai wadah silatuhmi sunnah maka tidak masalah. Justru itu baik sebab bukan hanya saudara dekat, saudara jauh pun ketemu dan bisa saling kenal. Tapi kalau itu dibuat sebagai ajang pamer dan membanggakan nasab atau dengan kata lain dibuat sebagai status sosial dan pembentukan kelas/kasta di masyarakat, maka itu memang tradisi jahiliah yang diberantas oleh Nabi Muhammad.

Sebab itulah, saya merasa aneh kalau melihat ada orang yang membuat flyer Bani fulan, fulan dan fulan dan mempostingnya di medsos sebab tak ada gunanya ia menunjukkan itu ke orang di luar baninya, kecuali bila niatnya pamer dan itu adalah adat jahiliah. Saya juga risih ketika ada orang yang menghormati saya hanya karena dia mengenal leluhur saya, bukan karena kualitas saya secara pribadi. Apalagi ketika ada yang menyanjung dengan aneka pujian lalu dihubungkan dengan nasab dengan perkataan semisal: "pantas, kan keturunan fulan". Itu sama sekali tidak relevan sebab sel sperma dan sel telur sama sekali tak mencetak kesalehan dan tidak juga mewariskan ilmu. 

Punya leluhur orang hebat itu memang bagus, tapi membanggakannya sambil menganggap orang lain masih di bawahnya adalah tindakan jelek dan memalukan. Seharusnya ayat ini cukup sebagai pedoman bagi mereka yang berakal sehat dan punya harga diri:

تِلۡكَ أُمَّةࣱ قَدۡ خَلَتۡۖ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَلَكُم مَّا كَسَبۡتُمۡۖ وَلَا تُسۡـَٔلُونَ عَمَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ

"Itu adalah umat yang telah lalu. Bagi mereka apa yang telah mereka usahakan sendiri dan bagimu apa yang telah kamu usahakan sendiri. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggunganjawaban) terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." [Surat Al-Baqarah 134]

Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

إِنَّ السَّلَفَ الْمَاضِينَ مِنْ آبَائِكُمْ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَالِحِينَ لَا يَنْفَعُكُمُ انْتِسَابُكُمْ إِلَيْهِمْ إِذَا لَمْ تَفْعَلُوا خيرًا يعود نفعهُ عَلَيْكُمْ، فَإِنَّ لَهُمْ أَعْمَالَهُمُ التِي عَمِلُوهَا ولكم أعمالكم

"Sesungguhnya para pendahulu dari kalangan leluhur kalian, dari kalangan para Nabi dan orang-orang shalih, sama sekali nasab kalian pada mereka tidak bermanfaat apabila kalian tidak melakukan kebaikan yang manfaatnya kembali pada kalian sendiri. Sesungguhnya mereka mendapat balasan amal yang mereka kerjakan sendiri dan kalian juga mendapat balasan amal perbuatan kalian sendiri". 

Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Bani-Banian - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®