Tidak sedikit perkara yang hukumnya sudah jelas-jelas mubah (boleh) karena termasuk masalah adat atau duniawi, tapi menjadi ruwet gara-gara ada sebagian pihak yang senantiasa menuntut adanya “dalil spesifik atau contoh dari nabi”. Mirisnya, mereka ini tidak hanya berasal dari kalangan awam, tapi juga dari mereka yang katanya sudah belajar ke luar negeri dan memiliki berbagai titel akademik yang wah.
Bagaimana sesuatu yang hukum asalnya sudah boleh, lalu masih dituntut untuk didatangkan dalilnya ? Dalil itu hanya untuk suatu perkara yang hukum asalnya dilarang, bukan untuk sesuatu yang hukum asalnya boleh. Justru siapa yang melarang sesuatu yang hukum asalnya boleh, maka dialah yang seharusnya dituntut untuk mendatangkan dalil. Jangan dibalik.
Untuk mematahkan argumentasi orang-orang yang senantiasa menutut “dalil spesifik atau contoh dari nabi”, perlu kiranya kita harus mengencarkan untuk menyampaikan dan menjelaskan dua kaidah berikut ini kepada umat ;
(1). Hukum asal segala sesuatu (adat/perkara duniawi) itu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya.
(2). Meninggalkannya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas suatu perbuatan, tidaklah hal itu menunjukkan akan haramnya perbuatan tersebut.
Andai seorang bisa memahami dua kaidah tersebut di atas dengan baik, maka dia akan terselamatkan dari sedikit-sedikit minta dalil atau contoh dari nabi. Wawasannya akan terbuka, bahwa dalil itu tidak sesempit yang mereka pahami selama ini.
Ketidaktahuan itu wajar dan terpuji asalkan melahirkan sifat tahu diri dan memotivasi untuk terus belajar. Tapi menjadi tercela tatkala digunakan untuk menyalahkan orang lain.
(Abdullah Al-Jirani)
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani