PEMBAHARUAN YANG SALAH ARAH
Banyak pemahaman dan amaliah umat Muslim yang sejak dulu sudah benar (atau minimalnya boleh), dalam arti sudah berdasarkan dalil dan merujuk kepada pemahaman para ulama yang mu’tabar (yang diperhitungkan), akan tetapi kemudian dianggap salah oleh segelintir orang di zaman ini setelah mereka merasa sudah ‘ngaji’ (baca ; hijrah) di suatu komunitas dakwah tertentu.
Mereka (yang menganggap salah pemahaman dan amaliah umat Islam) ini, merasa mendapatkan metodologi dan kesimpulan-kesimpulan hukum yang baru, yang semua ini luput dari pengetahuan para ulama mujtahidin di zaman sebelumnya. Lalu mereka menjadikannya sebagai revisi atas semua pemahaman dan amaliah yang ada (sebagiannya mengistilahkan dengan tajdid = pembaharuan).
Bagi mereka, pendapat para ulama zaman dulu yang diamalkan oleh umat Islam tidak ilmiyyah, alias hanya berdasarkan logika. Kesimpulan-kesimpulan hukumnya tidak merujuk (kembali) kepada dalil Quran dan sunnah. Kalaupun berdasarkan dalil, mereka ‘ceroboh’ sering menggunakan hadis dhaif (lemah), katanya.
Kalau kita mendapatkan orang-orang yang punya nalar berfikir seperti ini, hampir bisa dipastikan, bahwa merekalah yang sebenarnya gagal paham terhadap dalil dan metodologi dalam melakukan istinbath (menyimpulan hukum) darinya. Dari sini, munculllah berbagai pendapat-pendapat gharib (aneh) dan syadz (nyleneh) yang menyelisihi pendapat jumhur (mayoritas) ulama atau bahkan semua ulama.
Jadi, jangan terburu-buru merasa sok paling pinter dan mengikuti dalil. Coba kita berfikir, logiskah banyak hal baru yang diketahui oleh segelintir orang di zaman ini, tapi luput dari para raksasa keilmuan yang mereka semua telah mencapai level ahli ijtihad dengan seambrek piranti ilmu dan hafalan yang mereka kuasai ?? Memangnya orang-orang di zaman ini punya hafalan berapa ? Menguasi ilmu apa saja ? Sebarapa pahamkah terhadap secuil ilmu yang telah dipelajari ? Jawab : Amat sangat tidak logis.
Sebagai contoh ; Sejak zaman dulu umat Islam memahami dan mengamalkan, kalau makan sahur itu biasanya berhenti saat sudah masuk waktu Imsak (kira-kira 15 menit-an sebelum adzan subuh). Kalau terlalu mempet, khawatir nanti pas adzan subuh masih makan dan minum. Di mana jika hal ini kalau dilakukan, maka akan membatalkan puasa. Karena saat sudah masuk waktu shalat subuh (yang ditandai dengan adzan), sudah tidak boleh lagi makan dan minum. Mereka sangat paham, yang namanya puasa itu menahan dari beragai hal yang membatalkan puasa dari semenjak “terbit fajar shadiq” sampai tenggelamnya Matahari.
Eh, tiba-tiba ada pendapat baru yang ganjil dan nyleneh yang menyatakan bahwa ketika adzan subuh dikumandangkan, masih boleh makan dan minum. Lalu pendapat ini diklaim lebih ilmiah dibandingkan pendapat mayoritas umat Muslim dan para ulamanya. Untuk menguatkan sangkaannya (yang keliru), mereka berdalil dengan hadis Nabi saw yang berbunyi : “Apabila salah seorang di antara kalian mendengar adzan, dan gelas masih berada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya sampai dia menunaikan hajatnya (meminum) darinya.” (HR. Abu Dawud dan selainnya)
Padahal, mereka sendiri yang keliru dalam memahami dalil. Kata “adzan” dalam hadis di atas, bukanlah adzan Subuh, akan tetapi adzan subuh yang pertama. Karena adzan subuh ada dua, adzan pertama dan kedua. Yang pertama, dilakukan kira-kira 15 menit-an sebelum waktu shalat Subuh masuk. Sedangkan adzan kedua, ketika waktu shalat subuh sudah masuk. Kalau di zaman nabi, adzan pertama biasa dilakukan oleh sahabat Bilal, dan yang kedua oleh Abdullah bin Ummi Maktum. Jadi, hadis di atas dipahami demikian sebagai jalan kompromi terhadap hadis yang lain yang akan disebutkan.
Imam Al-Baihaqi Asy-Syafi’i (w. 458 H) rahimahullah berkata :
" إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ " خَبَرًا عَنِ النِّدَاءِ الْأَوَّلِ لِيَكُونَ مُوَافِقًا لِمَا... لَا يَمْنَعَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ مِنْ سُحُورِهِ، فَإِنَّمَا يُنَادِي لِيُوقِظَ نَائِمَكُمْ، وَيَرْجِعَ قَائِمُكُمْ... إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا أَذَانَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ.
Arti ; (Ucapan Nabi saw) “Apabila salah satu di antara kalian mendengar adzan, dan bejana masih berada di tangannya”, sebagai bentuk pengkabaran dari adzan yang pertama, agar berkesesuaian...dengan apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud nabi bersabda ; “Janganlah adzan (yang pertama) yang dilakukan oleh Bilal menahan salah satu dari kalian dari makan sahurnya, karena ia (adzan tersebut) hanya untuk membangunkan orang yang tidur dan mengembalikan orang yang sedang shalat....(dan juga hadis Aisyah dimana nabi bersabda) ; “Sesungguhnya Bilal adzan (pertama) di malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai mendengar adzan (kedua) dari Ibnu Ummi Maktum.”(Sunan Kubra ; 4/369)
Pejelasan imam Al-Baihaqi di atas, merupakan pendapat dari jumhur ulama,bahkan bisa dikatakan kesepakatan empat mazhab. Dan Alhamdulillah, sudah banyak yang taubat dari pendapat nyleneh ini.
Ini baru satu contoh. Dan masih banyak contoh lain dalam masalah ini, seperti ; waktu imsak, melafadzkan niat, qunut subuh, merapatkan shaf, sungkeman, cium tangan orang tua atau guru, menunduk saat berjalan di hadapan orang yang lebih tua, ziarah kubur, takbiran di malam hari raya secara berjamaah, saling berkunjung dan memaafkan di hari raya, dll (sisanya silahkan diisi sendiri).
Pelajarannya, jika kita mendapatkan sebuah metodologi, atau slogan-slogan, atau berbagai kesimpulan hukum yang baru yang “ganjil” dan “nyleneh” yang menyelisihi jumhur (mayoritas) ulama atau bahkan hampir semua ulama mazhab yang empat; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka berhati-hatilah dan segera tinggalkan. Karena kebenaran tidak akan keluar dari mazhab yang empat. Ikut saja ulama empat mazhab dan murid-murid mereka ushulan wa furu’an (dalam perkara pokok dan cabang agama), insya Allah selamat dunia akhirat. Amin. Wallahul muwaffiq.
(Abdullah Al-Jirani)
#mazhasyafii
#fiqhmazhab
#mazhaarbaah
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani