Syafi'i Ditolak Belajar kepada Imam Malik
Kira-kira kalo anak 13 tahun, sekarang kelas berapa sekolahnya? Mungkin 1 atau 2 SMP ya.
Itulah usia Syafi'i waktu bertemu Imam Malik bin Anas yang telah berusia 73 tahun; seorang guru besar hadis dan fiqih yang telah terkenal seantero negeri.
Cuma, itulah cara terbaik untuk menjadi orang hebat, yaitu berguru langsung kepada gurunya para guru, ahlinya para ahli, core of the core, best of the best.
Wajar jika Syafi'i kecil itu ditolak belajar langsung kepada Sang Imam.
Cuma Imam Syafi'i ini memang gabungan dari cerdas, berani dan tawadhu'.
Di usianya yang baru 13 tahun, beliau sudah mempersiapkan pertemuan itu dengan sangat matang. Apa saja?
Persiapan pertama, beliau meminta surat pengantar dari pemimpin kota Makkah untuk diberikan kepada Pemimpin kota Madinah agar diantarkan bisa belajar kepada Imam Malik.
Ini sebuah hal yang baru saat itu.
Meski pemimpin kota Madinah saat itu sudah gugup duluan untuk menyampaikan surat itu kepada Imam Malik bin Anas.
Ia berkata kepada Imam asy-Syafi’i,
يا بني، إن مشي من جَوْفِ المدينة إلى جوف مكة حافياً راجلاً أهون عليَّ من المشي إلى باب مالك، فإني لست أرى الذلَّ حتى أقفَ على بابه
“Wahai anak muda! Sungguh berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah tanpa alas kakipun itu terasa lebih ringan bagiku jika dibanding harus bertandang ke kediaman Imam Malik! Aku tidak mengenal sifat hina, sampai aku berdiri di depan pintunya”.
Benarlah, sampai di depan pintu rumah Imam Malik bin Anas, disambut oleh salah satu pembantunya, Wali Madinah memohon agar dipersilahkan menemui Imam Malik.
Tak lama setelah masuk ke dalam rumah, si pembantu keluar membawa pesan dari Imam Malik dan berkata,
إن كانت مسألة فارفعها إليّ في رقعة حتى يَخْرُجَ إليكَ الجوابُ، وإن كان للحديث فقد عرفت يوم المجلس
“Jika ada pertanyaan, cukup tuliskanlah dan tunggu besok akan kujawab. Jika ingin mengaji al-Muwaththa’ maka kalian tahu jadwalnya bukan hari ini.”
Tapi Wali Madinah tadi menimpali ingin menyampaikan surat pengantar belajar dari Wali Makkah.
Imam Malik membaca surat itu dengan seksama. Setelah tahu apa maksudnya, beliau melempar surat itu ke tanah dan berkata,
يا سبحان الله، قد صار عِلْمُ رسول الله، صلى الله عليه وسلم، يؤخذ بالوسائل!
“Subhanallah, sejak kapan ilmu Rasulullah ﷺ didatangi dengan wasilah surat-menyurat seperti ini?”
Wali Madinah tak mampu berkata-kata, ia sudah kehabisan kalimat di hadapan Imam Malik. Akhirnya, asy-Syafi’i memberanikan diri untuk berbicara.
Mendengar kalimat dan tutur bahasa yang bagus, dan firasat Imam Malik mengatakan bahwa pemuda dihadapannya ini nanti akan jadi tokoh besar, Imam Malik berkata,
إذَا كان غدٌ تَجِيء ويجيءُ من يقرأ لك الموطأ
“Datanglah kamu besok, akan ada orang yang membacakan kepadamu kitab al-Muwaththa’.
Syafi’i tak puas kecuali langsung berguru kepada Imam Malik bin Anas.
Persiapan kedua, Syafi'i menghafalkan dahulu kitabnya Imam Malik bin Anas.
Mungkin cara ini jarang sekali ditempuh orang sekarang ketika memulai belajar. Syafi'i sudah hafal al-Muwaththa' di luar kepala.
Gara-gara inilah akhirnya Syafi'i diterima belajar langsung kepada Imam Malik. Syafi'i bercerita:
فقلت: إني أقرأ ظاهراً. قال: فغدوت إليه وابتدأت، فَكُلَّمَا تهيبت مالكا وأردتُ أن أقطع، أعْجَبَه حُسْنُ قراءتي وإعْرَابِي، يقول: يا فَتى زِدْ. حتى قرأته عليه في أيام يسيرة.
“Wahai Syaikh, aku sudah menghafalkannya di luar kepala.” Jawab Imam asy-Syafi’i. Aku datang dan memulai membaca. Ketika aku ingin berhenti, baiknya bacaan dan i’rabku mengagumkannya. Sampai beliau berkata: Hai anak muda, tambahlah (bacaannya). Sampai aku membacanya hanya beberapa hari.
Uniknya, Syafi'i dahulu bisa menghafal kitab itu dari meminjam orang lain. Syafi'i juga tak punya banyak uang untuk membelinya.
Asy-Syafi’i pinjam kitab al-Muwaththa’ itu dari orang di Makkah.
Imam Syafi’i menuturkan:
... فمر بي رجل من الزُّبيريّين، فقال لي: يا أبا عبد الله، عَزَّ عليَّ أن لا تكون في العلم والفقه، هذه الفصاحة والبلاغة. قلت: من بقى ممن يُقْصَدُ؟ فقال: مالك بن أنس، سيد المسلمين. قال: فوقع ذلك في قلبي، وعمدت إلى الموُطّأ فاسْتَعْرته من رجل بمكة وحفظته
Maka ketika lewat orang dari Zubairiyyun, dia berkata kepadaku: Wahai Abu Abdillah, Sangat disayangkan kalo kamu tidak belajar Ilmu dan Fiqih, karena kefashihanmu dan kebalaghahanmu. Aku (Syafi’i) berkata: Apakah masih ada orang yang seperti yang kamu maksud (yang bisa aku jadikan guru)? Dia berkata: Malik bin Anas, tuannya kaum muslimin. Maka hal itu membekas dalam hatiku. Sampai Saya meminjam kitab al-Muwaththa’ dari seorang dari Makkah dan Saya menghafalkannya.
Tak heran, meski asy-Syafi’i saat itu masih berusia 13 tahun, sedangkan Imam Malik sudah berusia 73 tahun, asy-Syafi’i cukup percaya diri untuk bisa belajar langsung kepada ahli ilmu fiqih di zamannya.
Sumber FB Ustadz : Hanif Luthfy