PENYAKIT GANAS BERNAMA GILA POPULARITAS
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Zaman hari ini sudah lazim di mana-mana orang memburu yang namanya popularitas, atau keterkenalan. Karena dianggap kalau bisa ngetop hidup akan lebih enak terutama urusan nyari duit.
Tapi disadari atau tidak, suka dipuji dan dikenal itu telah berubah menjadi satu penyakit yang merusak. Orang kadang atas nama demi viral rela melakukan apapun meski harus kehilangan rasa malu dan melakukan maksiat.
Makanya kita dapati hari ini tingkah laku sebagian orang yang rela melakukan hal-hal yang sangat aneh, konyol,ekstrim dan teramat bodoh demi meraih keterkenalan. Bahkan lebih mengherankan lagi, jika tidak bisa dipuji karena sebuah prestasi, tak mengapa dicaci asalkan bisa viral dan terkenal.
Persis seperti yang disebutkan dalam pepatah arab :
ﺑﺎﻝ ﻓﻲ ﺯﻣﺰﻡ ﻟﻴﺸﺘﻬﺮ
“Dia sengaja mengencingi sumur Zam-zam agar bisa terkenal.”
Padahal, dalam tuntunan agama, memburu pujian dan keterkenalan adalah perbuatan yang sangat tercela. Ingin dipuji dan terkenal dalam kebaikan saja itu tidak baik, apalagi keinginan viral dalam keburukan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda :
إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ
“Jauhilah oleh kalian suka dipuji, karena dengan dengan pujian seakan kalian disembelih.” (HR. Ahmad)
Diriwayatkan dalam shahih Bukhari bahwasanya ada seseorang memuji- muji seorang laki-laki di hadapan Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda :
وَيْلَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ مِرَارًا
"Celaka kamu, kamu telah memenggal leher sahabatmu, kamu telah memenggal leher sahabatmu". Kalimat ini diucapkan oleh Beliau berulang kali.”
Al imam Munawi rahimahullah menjelaskan :
لِما فيه من الآفة في دين المادح والممدوح، وسمّاه: ذبحاً، لأنه يُميت القلب فيخرُجُ من دينه، وفيه ذبحٌ للممدوح فإنه يَغُرّه بأحواله ويُغريه بالعُجب والكِبْر
“Karena senang dipuji itu akan menjadi penyakit bagi agama orang yang memuji ataupun yang dipuji. Disebut oleh Nabi ﷺ sebagai “disembelih”, karena ini akan mematikan hati, sehingga mati pula agamanya. Juga orang yang dipuji seperti disembelih, karena ia akan tertipu dengan sifat ujub dan sombong.”[1]
Al imam Ibnu Bathal rahimahulah berkata :
لم يأمن على الممدوح العُجْب؛ لظنِّه أنه بتلك المنزلة، فربَّما ضيَّع العمل والازدياد من الخير؛ اتِّكالاً على ما وُصف به
“Hal ini karena pujian menyebabkan orang yang dipuji tidak akan selamat dari terjena penyakit ujub, ia mengira telah sampai pada kedudukan seperti isi pujian. Dan bisa jadi orangyang dipuji terhenti dari amal atau menambah dari berbuat kebaikan. Karena ia sudah mengira sampai di posisi pujian yang disifatkan kepadanya.”[2]
Sebaliknya, tuntunan agama ini mengajarkan agar kita menjadi hamba yang menjauhi segala hiruk pikuk dunia sanjung menyanjung dan keterkenalan, Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, berkecukupan, dan tersembunyi.” (HR. Muslim)
𝗣𝗲𝗿𝗶𝗻𝗴𝗮𝘁𝗮𝗻 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝘁𝗲𝗿𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽 𝗽𝗲𝗻𝗰𝗮𝗿𝗶 𝗽𝘂𝗷𝗶𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗽𝗼𝗽𝘂𝗹𝗮𝗿𝗶𝘁𝗮𝘀
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata :
إن قدرت على أن لا تعرف فافعلㅤ
“Jik engkau mampu untuk tidak dikenal, maka lakukan itu...”[3]
Al imam Ibrahim An Nakha’i rahimahullah berkata :
كفى فتنة للمرء أن يشار إليه بالأصابع في دين أو دنيا إلا من عصمه الله
“Cukuplah sebagai fitnah bagi seseorang, ketika jari-jari menunjuk padanya dalam masalah agama atau masalah dunia, kecuali orang-orang yang Allah selamatkan.”[4]
Al imam Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan:
إياك والشهرة؛ فما أتيت أحدًا إلا وقد نهى عن الشهرة
“Jauhilah oleh kalian dari menyukai popularitas. Tidaklah aku menemui satu guru pun, kecuali mereka melarang cinta popularitas.”[5]
Al imam Bisyr bin Al Harits rahimahullah mengatakan:
مَا اتَّقَى اللهَ مَنْ أَحَبَّ الشُّهْرَةَ
“Tidak akan bisa bertakwa kepada Allah, orang yang cinta popularitas.”[6]
Beliau juga berkata :
ما أعرفُ رجلاً أحبَّ أن يُعرَفَ إلا ذهبَ دينُه وافتُضَحَ أمرُه
“Tidaklah kuketahui seseorang yang lebih senang agar dirinya dikenal, melainkan akan sirna agamanya dan terkuak keadaannya.”[7]
Imam Ghazali rahimahullah berkata :
ما صدق الله من أحب الشهرة
“Tidak bisa jujur seseorang kepada Allah mereka yang menyukai popularitas.”[8]
Sebuah nasehat dari yang dinisbahkan kepada imam Syatibi rahimahullah berbunyi :
آخر الأشياء نزولا من قلوب الصالحين : حب السلطة والتصدر
“Hal yang paling terakhir terlepas dari hatinya orang-orang shalih adalah cinta kekuasaan dan popularitas.”[9]
Dengan nasehatnya ini seakan beliau mengatakan, jika ada ulama yang gila kekuasaan dan keterkenalan, nyaris tidak ada lagi kebaikan yang ia miliki, karena kebaikan yang lain telah hilang lebih dahulu.
𝗧𝗲𝗹𝗮𝗱𝗮𝗻 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗺𝗮𝘀𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗶𝗻𝗶
Imam Hamad menceritakan tentang gurunya, imam Ayyub :
كنت أمشي معه يعني أيوب فيأخذ في طرق إني لأعجب كيف يهتدي لها؛ فراراً من الناس أن يُقال: هذا أيوب
“Aku pernah membersamai guruku Ayyub, maka ia berjalan dengan cara yang membuatku ta’jub dalam mengikutinya. Yakni ia berusaha menghindar dari orang-orang agar tidak ada yang mengatakan kepadanya : Ini Ayyub.”[10]
Imam Ahmad rahimahullah berkata :
أريد أن أكون في شعب بمكة؛ حتى لا أُعرف، وقد بليت بالشهرة
“Ingin rasanya aku tinggal di kampul terpencil yang ada di Makkah hingga aku tidak dikenal. Sungguh sekarang aku ditimpa musibah keterkenalan.”[11]
Ketika imam Ahmad dieluk-elukkan orang banyak, maka beliau berkata :
ليته لا يكون استدراجاً
“Celaka, semoga ini bukan istidraj untukku.”[12]
Imam Ghazali menyebutkan riwayat tentang imam Khalid bin Ma’dan :
أنه كان إذا كثرت حلقته قام مخافة الشهرة
bahwa beliau jika halaqahnya sudah terlalu banyak orang yang menghadirinya justru meninggalkannya (membuat halaqadh di tempat lain) karena takunya beliau kepada keterkenalan.”[13]
Dikisahkan bahwa suatu ketika Ibnu Muhairiz masuk ke sebuah toko untuk membeli pakaian. Penjualnya menaikkan harga baju tersebut, lalu tetangga toko tersebut berkata kepadanya :
ويحكَ هذا ابنُ محيريزٍ.. ضَع له
“Celaka kamu, beliau ini adalah Ibnu Muhairiz… Berikan padanya…”
Mendengar ini bukannya senang, Ibnu Muhairiz pun segera menarik tangan anaknya, lalu berkata :
اذهبْ بِنا، إنما جئتُ لأشتَريَ بمالِي لا بديِني
“Ayo kita pergi saja dari sini. Sesungguhnya saya belanja dengan hartaku, bukan dengan agamaku.”[14]
Lalu beliau pun pergi dan meninggalkan toko tersebut.
𝗣𝘂𝗷𝗶𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗸𝗲𝘁𝗲𝗿𝗸𝗲𝗻𝗮𝗹𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴
Namun demikian jangan kita lantas salah paham, menganggap orang yang terkenal itu tidak baik atau memuji orang klain mutlak dilarang dalam Islam.
Keterkenalan itu bukan hal yang buruk, karena nyatanya banyak orang shalih yang terkenal. Demikian juga bukan berarti dipuji dan memuji itu terlarang, karena kita ketahui para Nabi dan orang-orang shalih mereka dipuji-puji dan disanjung oleh umat dan mereka juga memuji orang lain yang memang layak untuk dipuji.
Imam Al Ghazali mengatakan :
فالمذموم طلب الشهرة, فأما وجودها من جهة الله سبحانه من غير تكلف من العبد فليس بمذموم.
“Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun, jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”[15]
𝗖𝗮𝗿𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗼𝗯𝗮𝘁𝗶 𝗽𝗲𝗻𝘆𝗮𝗸𝗶𝘁 𝗴𝗶𝗹𝗮 𝗽𝗼𝗽𝘂𝗹𝗮𝗿𝗶𝘁𝗮𝘀
Suka pujian, gila sanjungan, pengen dikenal dan selalu ingin disebut dan ditokohkan adalah salah satu penyakit yang berbahaya. Sudah pasti seorang mukmin yang ingin selamat dunia dan akhiratnya harus berusaha untuk mengobatinya.
Al imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyebutkan diantara cara mengobati penyakit ini :
حب الجاه من المهلكات فيجب علاجه وإزالته عن القلب, ومن فهم الآخرة...صغر الجاه من عينيه, إلا أن ذلك إنما يصغر في عين من ينظر إلى الآخرة, كأنه يشاهدها, ويستحقر العاجلة, ويكون الموت كالحاصل بين يديه,...ويتفكر في الأخطار التي يستهدف لها أرباب الجاه, فإن كل ذي جاه محسود, ومقصود بالإيذاء, وخائف على الدوام على جاهه...
“Cinta pujian dan popularitas merupakan penyakit yang mematikan yang harus segera disembuhkan dari hati seseorang. Siapa yang telah memahami hakikat akhirat, maka akan menjadi remeh baginya popularitas.
Demikianlah, keinginanan untuk terkenal bisa dilemahkan dengan mengingat akhirat. Seakan-akan akhirat itu bisa ia saksikan. Membayangkan dekatnya ajal dan kematian yang sudah ada di hadapannya.
Lalu ia merenungkan puncak pencapaian dari sebuah popularitas (yang tidak ada apa-apa di sana). Bahkan setiap pemilik kepopuleran akan didengki. Oraang lain akan berusaha mencelakainya. Lalu diapun akan terus menerus dalam ketakutan dalam kepopulerannya...”
اللهم إنا نعوذ بك من العُجب والرياء وحب الظهور، وضيق الصدور، وظُلمة القبور، والخزي يوم البعث والنشور.
Ya Allah, kami berlindung kepadamu dari penyakit ujub, riya’ dan ingin dikenal. Kami juga berlindung kepadamu dari sempitnya dada, gelapnya alam kubur dan kerugian pada hari kebangkitan dan perhimpunan.”
📜Wallahu a'lam
___________
[1] Faidh al Qadir (3/129)
[2] Fath al Bari (10/477)
[3] Ihya Ulumuddin (3/277)
[4] Az Zuhd libni Surri, (2/442)
[5] Siyar A’lamin Nubala (7/260)
[6] Siyar A’lamin Nubala (10/476)
[7] Hilyatul Auliya (8/355)
[8] Ihya al Ulumuddin (3/276)
[9] Al maktaba.o*g/book/31888/12356
[10] Siyar A’lam Nubala (10/476)
[11] Siyar A’lam Nubala (11/211)
[12] Siyar A’lam Nubala (11/211)
[13] Ihya Ulumuddian (3/276)
[14] Hilyatul Auliya (2/166)
[15] Ihya Ulumuddin (3/278)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq