Sejak sekitar 700 tahun lalu, karakter para mujassim sama saja. Syaikh Izzudin Bin Abdissalam (w. 1262) , Sang Shulthanul Ulama, menceritakan salah satu karakter mereka yang masih sama persis dengan netizen mujassim yang ada di zaman ini:
وَإِذا سُئِلَ أحدهم عَن مَسْأَلَة من مسَائِل الحشو أَمر بِالسُّكُوتِ عَن ذَلِك وَإِذا سُئِلَ عَن غير الحشو من الْبدع أجَاب فِيهِ بِالْحَقِّ وَلَوْلَا مَا انطوى عَلَيْهِ بَاطِنه من التجسيم والتشبيه لأجاب فِي مسَائِل الحشو بِالتَّوْحِيدِ والتنزيه [السبكي، تاج الدين، طبقات الشافعية الكبرى للسبكي، ٢٢٣/٨]
"Kalau mereka ditanya tentang masalah akidah hasywi (akidah menyamakan Allah dengan jisim), maka mereka memerintahkan untuk diam tidak membahasnya. Ketika ditanya tentang bid'ah selain hasywi, maka mereka menjawabnya dengan benar. Seandainya bukan karena pengaruh hatinya yang berisi tajsim dan tasybih, maka mereka akan menjawab tentang masalah hasywi dengan jawaban tauhid dan tanzih". (Tajuddin As-Subki, Thabaqat, VII, 223).
Begitulah para mujassim hingga kini. Ketika kita membahas borok akidah tajsim, biasanya ada yang muncul dengan komen melarang membahas begituan, lebih baik diam saja, jaga persatuan umat, jangan memecah belah, mengajak saling menghargai dan seterusnya. Padahal dalam urusan akidah bid'ah yang lain mereka lantang bersuara bak kesatria. Ketika urusan akidah bid'ah tajsim mereka langsung melempem. Tentu saja mereka ketakutan ketika diajak berdebat.
Bila mereka menulis sejarah firqah, firqah mujassimah selalu saja tidak dibahas. Kalau pun dibahas selalu tidak sampai detail ke akar masalah sebab mereka sendiri salah satunya.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad