HUKUM MENGHIAS MASJID
Afwan kiyai, mohon penjelasan tentang hukum menghias masjid, seperti dengan kaligrafi, ukir-ukiran atau perabot lainnya yang banyak ada di masjid saat ini. Mohon jawabannya.
Jawaban
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Tentang menghias masjid diperbeda pendapatkan hukumnya oleh para ulama. Sebagian ada yang membolehkan, sebagiannya lagi memakruhkan bahkan ada ulama yang tegas melarang dengan mengharamkannya.
Kemudian masih dipilah lagi pendapat ulama mengenai menghias masjid dengan sesuatu yang murah atau yang mahal, juga sumber pendanaannya.
Mari kita simak pendapat para ulama madzhab tentang permasalahan ini.
1. Haram Mutlak
Sebagian kalangan ulama madzhab Hanbali menghukumi haramnya menghias masjid secara mutlak.[1] Pendapat ini didasarkan kepada dalil-dalil diantaranya :
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ
“Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun masjid.” (HR. Abu Daud).
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda,
مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ . قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
“Aku tidak diperintahkan untuk meninggikan bangunan masjid.” Ibnu Abbas berkata, “Sungguh kalian akan menghiasi masjid-masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani menghiasai tempat ibadah mereka.” (HR. Ahmad).
Al imam al Khattabi rahimahullah berkata, “Orang-orang Yahudi dan Nashrani mulai memperindah gereja dan biaranya tatkala mereka telah mengubah dan mengganti kitab mereka. Maka mereka menyia-nyiakan agama dan berhenti hanya sebatas memperindah dan menghiasi tempat ibadah.”[2]
2. Haram bersyarat
Sebagian kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah mengharamkan bila hiasan masjid itu dari barang mahal semisal emas. Karena dipandang sebagai perbuatan yang melampaui batas dan mubazir.[3]
Dalilnya adalah sebuah atsar dari sayidina Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu :
وَإِيَّاكَ أَنْ تُحَمِّرَ أَوْ تُصَفِّرَ فَتَفْتِنَ النَّاسَ
“Janganlah kamu mewarnai dengan merah atau kuning sehinga kamu mengganggu orang.” (HR. Bukhari).
3. Makruh
Mayoritas ulama yakni dari kalangan madzhab Malikiyyah, sebagian Syafi’iyyah dan Hanafiyyah memakruhkan hiasan masjid dengan emas, perak ataupun ukiran, pewarna yang mencolok atau tulisan-tulisan. [4]
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
يكره زخرفة المسجد ونقشه وتزيينه للأحاديث المشهورة
"Dimakruhkan mendandani masjid, mengukir dan menghiasinya dengan dalil hadits-hadits yang masyhur."
Beliau juga berkata : “Menghiasi masjid hukumnya makruh, karena bisa mengganggu ketenangan orang shalat.”[5]
Pendapat jumhur ini didasarkan kepada hadits-hadits yang telah disebutkan di atas yang menjadi dalil kalangan madzhab Hanbali. Hanya saja jumhur berbeda dalam menyimpulkan hukumnya, mereka memandang dalil -dalil itu hanya menunjukkan kemakruhan saja.
4. Boleh
Sedangkan kalangan ulama al Ahnaf (Hanafi) membolehkan menghias masjid secara mutlak, baik dengan emas, perak, ukir-ukiran dan juga kaligrafi, dengan syarat hiasan itu tidak di Mihrab (arah kiblat).[6]
Karena menurut mazhab ini yang paling berpotensi mengganggu kekhusyu’an shalat adalah hiasan yang diletakkan di Mihrab.
𝙇𝙖𝙡𝙪 𝙗𝙤𝙡𝙚𝙝𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙝𝙞𝙖𝙨 𝙢𝙖𝙨𝙟𝙞𝙙 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙜𝙪𝙣𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙣𝙖 𝙠𝙖𝙨 𝙢𝙖𝙨𝙟𝙞𝙙 ?
Ulama sepakat akan keharaman menggunakan dana masjid untuk biaya menghias masjid. Disebutkan dalam al Mausu'ah :
واتفق الفقهاء على أنه لا يجوز زخرفة المسجد أو نقشه من مال الوقف
"Para ahli fiqih sepakat bahwa tidak diperbolehkan menghias atau memberi ukiran pada masjid yang pembiayaannya dari dana waqaf." [7]
Kesimpulan
Sebaiknya masjid- masjid adalah yang dijauhkan dari bentuk-bentuk hiasan yang cendrung berlebihan karena akan menjatuhkan kepada kemubaziran dan justru berpotensi mengganggu kekhusyu’an jama'ah yang shalat di dalamnya.
Di beberapa masjid saya menemukan hiasan yang diletakkan tepat di mihrab. Subhanallah. Padahal menghias bagian depan mihrab termasuk yang dihukumi haram oleh mayoritas ulama.
📜 Wallahu a’lam.
________
1. Kasy al Qina ‘ala Matan al Iqna (4/269).
2. Umdatul Qari Syarah Shahihil Bukhari (7/41).
3. Mughni al Muhtaj (1/29), Kasyf al Qina (2/238), al Majmu’ Syarh al Muhadzab (6/42).
4. Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (23/217).
5. Al Majmu’ Syarah al Muhadzab (3/180)
6. Hasyiah Ibnu Abidin (1/442), al Qulyubi (3/108), Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (23/219).
7. Al Mausu'ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (23/218)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq