𝗕𝗔𝗖𝗔𝗔𝗡 𝗤𝗨𝗡𝗨𝗧
𝘈𝘧𝘸𝘢𝘯 𝘒𝘪𝘺𝘢𝘪, 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘬𝘮𝘶𝘮 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘴𝘩𝘶𝘣𝘶𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘥𝘰𝘢 𝘘𝘶𝘯𝘶𝘵. 𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘥𝘰𝘢 𝘘𝘶𝘯𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘣𝘢𝘤𝘢𝘢𝘯 𝘘𝘶𝘯𝘶𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘻𝘪𝘮 (𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶𝘮𝘮𝘢𝘩𝘥𝘪𝘯𝘢 𝘧𝘪𝘮𝘢𝘯 𝘏𝘢𝘥𝘢𝘪𝘵𝘢 𝘥𝘴𝘵…).
𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯, 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘥𝘰𝘢 𝘘𝘶𝘯𝘶𝘵 𝘴𝘩𝘶𝘣𝘶𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘥𝘰𝘢 –𝘥𝘰𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 ? 𝘈𝘵𝘢𝘶 𝘣𝘢𝘤𝘢𝘢𝘯 𝘘𝘶𝘯𝘶𝘵 𝘴𝘩𝘶𝘣𝘶𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘭 ?
𝘋𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘮𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘢𝘯, 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘥𝘰𝘢 𝘘𝘶𝘯𝘶𝘵 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘴𝘶𝘯𝘯𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴𝘢𝘱 𝘸𝘢𝘫𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢 ? 𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩.
𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻 :
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Sebagian ulama berpendapat bahwa membaca doa Qunut diwaktu shalat shubuh hukumnya sunnah. Ini dikenal luas sebagai pendapat dari kalangan mazhab Syafi'i yang kebetulan banyak diamalkan di negeri kita.
Sebenarnya dari mazhab yang lain juga ada yang berpendapat serupa, yakni dari kalangan Malikiyah, namun mazhab ini hanya memandang kesunnahan Qunut Shubuh hanya diamalkan sesekali, tidak terus menerus.
Diutamakan disaat umat Islam tertimpa bala atau bencana. Sedangkan menurut syafi’iyah kesunnahan membaca Qunut dalam shalat shubuh bersifat terus menerus, baik saat turunnya bala' atau tidak.[1]
𝗕𝗮𝗰𝗮𝗮𝗻 𝗗𝗼𝗮 𝗤𝘂𝗻𝘂𝘁
Bacaan doa Qunut yang masyhur di kalangan Syafi’iyah adalah lafadz doa berikut ini, dibaca pada posisi I’tidal pada raka’at kedua shalat shubuh.
اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِل مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ.
Dalil kalangan Syafi’iyah memilih bacaan ini sebagai Qunut shubuh adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim dalam kitab Mustadraknya, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ia berkata, “Rasulullah ﷺ jika bangkit dari ruku’ pada shalat Shubuh raka’at kedua, maka beliau mengangkat kedua tangan lantas berdoa : Allahummah dinii fiiman hadait…dts.
Sedangkan dalam riwayat imam Baihaqi, dengan adanya tambahan lafadz : Falakal hamdu ‘ala maa Qadhait.
Hadits lafadz qunut ini diriwayatkan dalam berbagai macam kitab hadits dengan jalur periwayatan yang berbeda-beda, yakni : Ahmad (1/191), Thabrani (3/2712), Ibnu Khuzaimah no. 1095, Tirmidzi no. 464, Nasai no. 1745, Darimi no. 1595, Baihaqi 2/497, Abu Ya'la no. 6786, Ibnu Abi Syaibah (2/300), Abdurrazzaq no. 4985.
Dan derajat hadits tentang lafadz Qunut ini adalah shahih. Sedangkan redaksi takhis untuk bacaan qunut Shubuh derajatnya Hasan.[2]
𝗕𝗮𝗰𝗮𝗮𝗻 𝗤𝘂𝗻𝘂𝘁 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗟𝗮𝗶𝗻
Namun bacaan Qunut diatas bukanlah satu-satunya doa Qunut yang diajarkan Nabi shalallahu’alaihi wasallam. Masih ada beberapa redaksi doa yang oleh madzhab yang lain lebih dipilih sebagai bacaan Qunut mereka.
Entah itu Qunut witir, Qunut nazilah ataupun yang juga berpendapat sunnahnya Qunut shubuh.
Diantara redaksi Qunut lainnya adalah lafadza doa di bawah ini :
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ، وَنَسْتَهْدِيكَ، وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنَتُوبُ إِلَيْكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَتَوَكَّل عَلَيْكَ، وَنُثْنِي عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ، نَشْكُرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحَقٌ
Doa Qunut diatas dikenal dengan bacaan Qunut Umar, penamaan ini disebabkan adanya riwayat bahwa sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu dalam Qunutnya banyak membaca doa di atas.
Dan dalam hal ini kalangan Syafi’iyah membolehkan membaca doa-doa Qunut selain yang disebutkan diatas, atau boleh juga menambahkan (mencampur) doa Qunut ‘Allahummahdiniy fiman hadait’ dengan doa Qunut yang lain.
Bahkan lebih jauh lagi, mazhab ini memberikan keluasan bolehnya semua jenis dzikir dijadikan bacaan Qunut Shubuh asalkan berisi pujian kepada Allah dan doa.
Semisal kalimat : “Allahumma ighfirliy ya Ghafur. ”Kalimat Ighfirli (Ampuni saya) termasuk doa dan ya Ghafur (yang maha pengampun) termasuk pujian.
Namun tetap yang lebih utama untuk dibaca dalam doa Qunut adalah lafadz redaksi diatas, yakni Allahummah dini sampai akhir.[3]
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
واعلم أن القنوت لا يتعين فيه دعاء على المذهب المختار، فأي دعاء دعا به حصل القنوت ولو قنت بآية، أو آيات من القرآن العزيز وهي مشتملة على الدعاء حصل القنوت، ولكن الأفضل ما جاءت به السنة. .
"Ketahulah, bahwasa Qunut itu tidak harus dengan bacaan tertentu menurut pendapat madzhab yang terpilih. Apapun do'a yang dibaca itu bisa dijadikan bacaan Qunut meskipun dengan membaca satu ayat dari al Qur'an.
Maka itu sudah mencakup do'a dalam Qunut. Tapi yang lebih afdhal adalah yang datang dari sunnah." [4]
Beliau juga berkata :
يستحب الجمع بين قنوت عمر ي ضي الله عنه وما سبق، فإن جمع بينهما، فالأصح تأخير قنوت عمر، وإن اقتصر فليقتصر على الأول، وإنما يستحب الجمع بينهما إذا كان منفردا أو إمام محصورين يرضون بالتطويل
“Disunnahkan mengumpulkan antara qunut yang biasa dengan qunut Umar radhiyallahu'anhu.
Kalau dikumpulkan, maka sebaiknya qunut Umar diakhirkan. Ada pendapat sunnah mendahulukannya. Apabila memilih salah satu, maka hendaknya memilih qunut yang biasa.
Sunnahnya mengumpulkan keduanya apabila shalat sendiri atau berjemaah dengan makmum yang rela doa panjang.” [5]
𝘼𝙥𝙖𝙠𝙖𝙝 𝙈𝙚𝙣𝙜𝙪𝙨𝙖𝙥 𝙒𝙖𝙟𝙖𝙝 𝙎𝙚𝙩𝙚𝙡𝙖𝙝 𝘿𝙤𝙖 𝙌𝙪𝙣𝙪𝙩 ?
Ada tiga pendapat dalam masalah ini, dan dalam Fiqhul Islami wa Adillatuhu disebutkan bahwa pendapat yang shahih dalam madzhab Syafi’i menyatakan tidak ada kesunnahkan mengusap wajah selesai dari Qunut.
Imam al Baihaqi rahimahullah menegaskan, bahwa mengusap wajah selesai membaca Qunut tidak ada kesunnahannya, karena tidak ada hadits yang melandasinya. Beliau berkata :
فأما مسح اليدين بالوجه عند الفراغ من الدعاء فلست أحفظ عن أحد من السلف في دعاء القنوت وإن كان يروى عن بعضهم في الدعاء خارج الصلاة،
"Adapun mengusapkan kedua tangan ke wajah ketika selesai dari membaca do'a Qunut tidak kami ketahui dari satupun ulama klasik terdahulu. Yanh kami lihat adalah itu dilakukan bila selesai dari do'a setelah shalat." [6]
Wallahu’alam bish Shawwab
__________
[1] Asy Syarhush Shaghir (1/311), Syarhul Kabir (1/248), Mughnil Muhtaj (1/166), Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (1/81), Hasyiyah Bajuri (1/168).
[2] Tuhfah al Muhtaj (/304)
[3] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/165), Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab ( 3/ 504).
[4] Al Adzkar hal. 61
[5] Ibid
[6] Nashbur Rayah (2/131).
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq