Perbedaan Antara Tanggapan dan Sanggahan Ilmiah
Tulisan saya yang membahas isu panas seringkali ditanggapi oleh pihak-pihak yang kontra. Bahkan kadang dalam hitungan jam sudah ada tanggapannya dan mereka biasanya men-tag saya untuk memberi tanggapan balik namun sering saya acuhkan. Kenapa diacuhkan? Karena itu sekedar tanggapan bukan sanggahan ilmiah.
Tanggapan adalah semua jenis respon, baik nyambung atau tidak, berbobot atau tidak. Hampir semua kritik balik terhadap tulisan saya berjenis ini. Misalnya, dalam tulisan terakhir saya membuktikan bahwa Ibnu Taymiyah menetapkan kejisiman Allah sebab ia meniscayakan wajibul wujud (Allah) pastilah punya sisi-sisi fisikal yang berbeda-beda; Dzatnya punya sisi sebelah sini dan sebelah sana. Pernyataannya ini jelas tajsim tanpa bisa dibantah. Bila ini bukan dianggap tajsim, maka di muka bumi ini tidak ada yang namanya tajsim. Namun tanggapan yang saya dapat hanya berupa komen random seperti bahwa saya menanduk gunung, saya bukan siapa-siapa, tokoh fulan dan fulan mengatakan Ibnu Taymiyah bukan mujassim dan semacamnya yang tidak menyentuh inti persoalan yang saya angkat.
Ada juga yang memakai nama "Nur Fajri" menulis artikel panjang dan lebar membahas kemana-mana dengan maksud membantah artikel saya tersebut lalu menyimpulkan bahwa Ibnu Taymiyah bukan mujassim. Sayangnya dalam bahasannya secuil pun tidak membahas tentang sisi-sisi dzat Allah yang secara sharih ditetapkan oleh Ibnu Taymiyah sendiri. Tentu saja meskipun panjang lebar namun tulisannya sama sekali tidak relevan dan tidak mampu mematahkan apa yang saya tulis. Kesimpulannya yang tetiba melompat begitu saja merupakan fallacy (cacat logika) di samping beberapa kesalahan lain yang dia tulis ketika membahas melebar kemana-mana. Tentu saja yang seperti ini tidak layak saya tanggapi balik.
Sedangkan sanggahan ilmiah adalah sanggahan yang memang masuk pada point perselisihan (mahallun niza') dan mematahkan argumen inti yang saya sajikan. Misalnya, poin saya tentang Ibnu Taymiyah di atas dalam bahasa ilmu kalam adalah beliau menetapkan kamm muttashil, maka sanggahannya harus berupa pembuktian balik dengan bukti setara yang sharih bahwa Ibnu Taymiyah menafikan kamm muttashil. Ini baru tanggapan ilmiah yang layak ditanggapi balik. Tapi sayangnya belum ada yang bisa melakukannya.
Itulah alasan kenapa saya biasanya cuek ketika di-tag di postingan yang mengkritik saya. Kalau saya menilai tanggapannya sekedar tanggapan random yang tidak mampu mematahkan argumen saya, maka saya biarkan saja. Apalagi hampir semuanya memakai akun fake. Paling banter saya hanya komen bahwa itu tidak berbobot lalu saya tinggal. Terserah mereka mau berkata apa tentang saya, yang jelas argumen saya sama sekali masih tidak patah. Herannya masih ada saja tim sorak yang mendukung tanggapan yang tidak nyambung semacam itu dan sebagian terus meminta saya menghabiskan waktu untuk menanggapinya seolah itu layak ditanggapi.
Memaksakan diri membantah sebuah kebenaran harusnya tidak dilakukan. Itu adalah ciri kerasnya hati. Kalau salah, maka akui saja salah dan itu bukanlah aib. Kalau akidah yang selama ini dianut ternyata salah, maka tobat saja secepatnya dan itu adalah kemuliaan.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad