HAJJAJ BIN YUSUF ATS TSAQAFI MELAKUKAN PEMBANTAIAN KEJI
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Karena kedzaliman luar biasa yang dilakukan oleh Hajjaj bin Yusuf, maka terjadilah pemberontakan di mana-mana khususnya wilayah Iraq. Dan Hajjaj merespon semua bentuk pembangkangan itu dengan jalan menghunuskan pedang dan membabat siapapun tanpa ampun.
Maka darah tertumpah bukan hanya di medan peperangan, tapi juga di kamp-kamp tahanan.
Hajjaj pernah menghimbau agar para pemberontak atau pihak yang pernah kontra dengan dirinya untuk menyerahkan diri dan ia berjanji bahwa mereka yang mau berdamai tidak akan disakiti.
Namun ternyata, orang-orang itu dikejutkan oleh kejadian yang tidak mereka duga, karena Hajjaj menuntut agar setiap orang yang datang kepadanya hendaknya berbai’ah (mengambil sumpah setia) kepadanya.
Dan yang berat dari syarat bai’ah itu adalah : Setiap orang harus mengaku siapapun mereka yang pernah melawan dirinya, statusnya adalah kafir, dan bai’ah itu sekaligus pernyataan taubat yang menjadi jalan untuk mereka masuk Islam lagi.
Maka saat proses ba’iah akan ditanyakan : “Apakah anda mengakui telah kafir karena telah membangkang kepada pemimpin yang shah ?”
Jika jawabannya ”iya” maka dia akan dianggap telah masuk Islam kembali dan akan dibebaskan. Sedangkan bagi yang menolak atau mengatakan "tidak" akan langsung dipenggal lehernya.
Sebagian dari mereka tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi keselamatan dirinya. Sedangkan sebagian lagi tetap teguh dan tidak mengindahkan perintah tersebut, dan tentu saja bayarannya adalah kepala yang terpisah dari badan mereka.
Penjagalan sadis inilah yang telah memakan ribuan korban dari kaum muslimin yang sebagiannya ada para ulama. Diantara deretan ulama itu adalah Kamil bin Ziyad An-Nakhai rahimahullah.
Ia dihadapkan kepada Hajjaj, lalu seperti biasa ia ditanya : “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?”
Kamil menjawab, “Tidak. Demi Allah aku tidak mengakuinya.”
Hajjaj mengancam, “Bila demikian, aku akan membunuhmu.”
Kamil menjawab, “Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak kita akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya.”
Hajjaj menimpalinya, “Ketiku itu, kesalahan ada di pihakmu.”
Kamil berkata, “Benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu.”
Hajjaj berkata kepada pengikutnya, “Bunuh dia!”
Lalu Kamil bin Ziyad pun dibunuh.
Kisah lainnya yang sempat terekam dalam proses pembantaian itu adalah seorang yang sudah sangat tua dari suku Khat’am.
Saat dihadapkan kakek tersebut mencoba untuk beralibi dengan cara lain. Ia mengatakan saat terjadi huru hara dan peperangan pemberontak dengan pasukan Hajjaj, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di belakang sungai Eufrat.
Namun Hajjaj justru mendampratnya, “Celakalah engkaku ! Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?”
Orang tua itu menjawab, “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.”
Hajjaj berkata mengancam, “Jika demikian aku akan membunuhmu.”
Orang tua itu menjawab, “Jika engkau membunuhku, demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu.”
Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Padahal saat itu hampir semua penggawa dan orang-orang Hajjaj menampakkan belas kasihan dan memohon kepadanya untuk mengampuni saja. Tapi Hajjaj tidak peduli.
Diantara ulama besar yang turut mengangkat senjata melawan kedzaliman Hajjaj adalah al imam Sa’id bin Jubair rahimahullah. Setelah induk pasukan tempat ia bergabung dikalahkan, beliau melarikan diri dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Makkah.
Selama sepuluh tahun beliau tinggal di sana, waktu yang cukup lama sebenarnya untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj.
Akan tetapi, ternyata ada perkembangan situasi yang tak terduga. Seorang gubernur baru di datangkan ke Makkah, yaitu Khalid bin Abdullah Al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayyah.
Orang ini dikenal keras kepada setiap pihak yang pernah kontra kepada kebijakan pemerintah. Hal inilah yang menyebabkan sahabatnya dan murid-murid Sa’id bin Jubeir mengkhawatirkan akan keselamatannya.
Mereka membujuk Sa’id bin Jubeir untuk keluar dari Makkah dan mencari tempat yang lebih aman. Namun saran ini ditolak oleh sang imam, beliau berkata :
والله لقد استحييت من الله ، مم أفر ولا مفر من قدره
“Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai aku malu rasanya kepada Allah. Aku telah memutuskan tidak akan melarikan diri lagi, aku pasrah dengan kehendak Allah.”
Dan ternyata benar, apa yang dikhawatirkan oleh banyak orang atas diri Sa’id bin Jubeir terjadi. Selang beberapa hari gubernur baru itu menjabat, ia segera memerintahkan tentaranya untuk menangkap Sa’id bin Jubeir di kediamannya.
Bersambung...
________
📜Bidayah wa Nihayah (12/463- 466), Tabaqat al Kubra li Ibni Sa’ad (6/79-80)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq