Mungkin Kita Pelaku Bid'ahnya?
Oleh : Rahmat Taufik Tambusai
Kadang bukan pendapat ulama tersebut yang bidah tetapi sikap kita terhadap pendapat ulama tersebut yang dikategorikan bidah.
Sebagai contoh Imam syafii berpendapat berdasarkan hadits yang beliau teliti keshohehannya bahwa Qunut subuh itu sunnah.
Hasil kajian manusia super cerdas yang hafal jutaan hadits, dengan mudah dikatakan bidah, sikap yang mudah membidahkan ini pada hakikatnya pelaku bidah sesungguhnya.
Sebagai seorang penuntut ilmu yang cerdas, tidak akan berhenti pada doktrin tertentu, sebelum menggali dan mengkaji pendapat ulama dari satu buku ke buku yang lainnya, agar tidak mudah latah mengikuti guru yang mudah lisannya memvonis suatu amalan bidah.
Kadang tanpa sadar kita, sikap kita yang mudah menuduh bidah suatu amalan tersebut, sesungguhnya bidah yang sebenarnya, karena tidak pernah dicontohkan oleh nabi, para sahabat, tabiin, tabiut tabiin dan ulama mazhab.
Karena ulama Mazhab menetapkan suatu amalan tersebut sunnah, didasari dan dilandasi dalil dari Al Quran, sunnah, ijma dan Qias, baik secara langsung maupun melalui istinbat hukum.
Yang melakukan istinbat hukum, mereka yang sudah sampai derajat mujtahid, yang telah sempurna menguasai seluruh keilmuan islam, mulai dari alatnya sampai kepada bahannya.
Sedangkan tukang tuduh bidah, mereka yang kedudukannya tidak selevel dengan ulama mujtahid baik dalam kecerdasaan, ibadah, akhlak maupun dalam ilmu alat dan bahannya.
Sikap lancang seperti ini, yang tidak menguasai ilmu keislaman secara sempurna, lalu dengan mudah memvonis pendapat ulama yang hafal jutaan hadits dengan bidah, merupakan perbuatan bidah diatas bidah yang sesungguhnya.
Sebab pendapat ulama mazhab ada sandarannya dari syariat, sedangkan kita hanya kata guru yang levelnya rendah plus tidak diakui keilmuannya, yang kita jadikan sebagai dasar untuk ikut - ikutan membidahkan pendapat ulama mujtahid.
Seharusnya sikap kita seperti yang dilakukan ulama mujtahid itu sendiri, ketika ada ulama Mujtahid yang lain berbeda dengannya dalam menetapkan suatu hukum, mereka tidak saling membidahkan.
Karena mereka paham, bahwa yang dilakukan ulama mujtahid yang berbeda dengannya juga melandasi pendapatnya dengan dalil dari Al Quran, sunnah, ijma dan qias.
Makanya empat mazhab yang bertahan sampai hari ini, hanafi, maliki, syafii dan hanbali tetap akur, jikalau pun ada gesekan sedikit itu adalah oknum yang mengaku bagian dari mazhab tersebut, bukan yang digariskan oleh pendirinya.
Dan bagaimana sikap kita terhadap ada dua pendapat ulama mujtahid dalam satu perkara :
1. Tidak membidahkan amalan tersebut karena dilandasi salah satu dalil dari Al quran, sunnah, ijma atau qias.
2. Tidak memaksakan pendapat yang kita pakai kepada saudara kita yang lebih nyaman dengan pendapat ulama mujtahid yang lainnya.
3. Tidak mencaci maki, melecehkan, merendahkan pendapat ulama yang tidak kita ikuti.
4. Saling menghargai dan menghormati pendapat ulama yang diikuti, karena pendapat tersebut berdasarkan dalil, bukan akal akalan ulama.
5. Insaf akan kekurangan diri, dalam menuntut ilmu, tak sebanding dengan yang dilakukan ulama mujtahid, dalam mengamalkan ilmu masih jauh dari para ulama mazhab.
6. Tidak membenturkan satu pendapat dengan pendapat yang lain dengan tujuan menjatuhkan kedudukan ulama mujtahid tersebut.
7. Tidak merasa paling baik dengan mengamalkan pendapat yang kita yakini, dan memandang rendah kepada yang lainnya, karena itu sifat iblis.
Jika sikap diatas tidak kita indahkan, mungkin kita pelaku bidahnya sesungguhnya, karena tanpa ilmu memvonis suatu amalan sebagai bidah, padahal amalan tersebut disunnahkan.
Membidakan amalan sunnah, termasuk perbuatan bidah yang dilarang oleh agama, karena sama halnya kita membuang sebagian ajaran islam.
Membuang sebagian ajaran agama, hukumnya kafir, karena beriman kepada sebagian dan kafir kepada sebagian syariat hukumnya kafir.
Oleh sebab itu hati hatilah dalam memvonis pendapat seorang ulama mujtahid, karena pendapatnya didasari Al quran, sunnah, ijma dan qias.
Dalu - dalu, Jumat 12 Agustus 2022
Yuk umroh yang minat hubungi kami.
Sumber FB Ustadz : Abee Syareefa
12 Agustus 2022 pada 08.56 ·