Al-Quran dan Para Shahabat
Oleh Ahmad Sarwat
Sudah menjadi kebiasaan kita kalau baca Quran sekedar baca sambil lalu. Tidak memikirkan makna, isi dan pesannya. Jadi Al-Quran umumnya kita posisikan hanya sebagai kitab ritual peribadatan saja.
Tidak apa-apa, toh Itu juga merupakan kelebihan Al-Quran, yaitu jadi kitab Ubudiyah alias bacaan peribadatan.
Namun kalau dipikir-pikir lebih dalam, hal itu juga sekaligus jadi kelemahan.
Karena kita jadi fokus hanya pada pahala saja dan isi pesannya yang lebih utama malah terabaikan.
Padahal yang sesungguhnya merupakan tujuan diturunkannya Al-Quran justru untuk bisa ditangkap pesannya. Pesan itu bisa saja menjadi perintah atau larangan dari Allah.
Sayangnya malah pesan itu tidak kita dapat. Kan sayang sekali jadinya. Ibarat punya HP mahal, tapi tidak bisa pakainya, akhirnya cuma digunakan buat ganjel pintu. Kebangetan lah pokoknya.
* * *
Lalu bagaimana interaksi para shahabat dengan Al-Quran di masa kenabian dulu?
Jelas jauh sekali kondisinya. Di masa itu setiap hari para shahabat berada pada posisi menunggu-nunggu turunnya suatu ayat.
Mereka butuh petunjuk hidup, arahan dan juga aturan dari langit. Dan wujudnya berupa ayat Al-Quran dalam bentuk kalimat yang dibacakan Jibril.
Biasanya setelah ditunggu-tunggu, turun lah Malaikat Jibril membacakan petikan firman Tuhan, langsung dari langit.
Pesan yang turun dari langit itu pastinya mereka pahami, bukan hanya karena Al-Quran turun dengan bahasa mereka, tapi juga memberi solusi atas masalah yang muncul di tengah mereka.
Biasanya Nabi SAW tidak perlu panjang lebar menjelaskan isi pesan itu. Toh umumnya para shahabat langsung bisa memahami dan mencernanya. Lagian ayat itu justru turun dilatar-belakangi kasus mereka sendiri.
Sampai disini jelas sekali perbedaan kita dan para shahabat dalam memposisikan Al-Quran. Mereka fokus pada isi pesannya, kita sibuk mikirin pahala bacaanya.
* * *
Maka siapakah orang yang paling mengerti isi kandungan suatu ayat setelah Nabi SAW?
Jawabannya siapa lagi kalau buka para shahabat. Mereka tahu banget kisah cerita dan konteks ketika suatu ayat diturunkan.
Mereka paham dan betul-betul mengerti apa yang sebenarnya menjadi latar belakang turunnya suatu ayat. Apa, siapa, dimana, kapan, dan kenapa, sudah ada di luar kepala.
Jadi kalau sepeninggal Nabi SAW beberapa shahabat pandai menjelaskan hukum-hukum agama berdasarkan ayat Qur'an, itu pantas dan wajar. Sebab mereka itulah orang yang paling mengerti isi pesan suatu ayat Qur'an.
Lalu apakah para shahabat itu tidak baca atau hafal Qur'an?
Tentu saja mereka baca Quran, tiap waktu bahkan. Dan umumnya para shahabat juga hafal Al-Quran. Dan banyak juga bahkan yang mencatat dan menuliskannya.
Jadi para shahabat itu paket lengkap, tiap hari baca Quran, juga hafal luar kepala, plus mereka tahu banget isi kandungannya.
Bagi para shahabat, sekedar hafal Al-Quran tentu bukan prestasi menonjol yang harus dibangga-banggakan. Itu sih hal biasa saja dan tidak aneh.
Tapi yang jadi unik adalah ketika para shahabat bercerita tentang latar belakang suatu ayat. Lalu mereka jelaskan isi kandungan hukumnya.
Itu yang unik dan jadi istimewa. Sebab di akhir kehidupan Nabi SAW, khususnya pasca Perang Tabuk di tahun ke-9, terjadi tsunami besar, yaitu masuk Islamnya berbagai suku Arab secara gelodongan.
Ibnu Sa'ad menyebutkan tidak kurang dari 70 suku menyatakan diri masuk Islam. Ibnu Katsir menyebutkan lebih dari 100 suku.
Akibatnya, jumlah shahabat new-comers melonjak drastis, bertambah berkali lipat dari jumlah semula.
Kebanyakan new-comers ini tidak mengalami bagaimana suatu ayat diturunkan, sebab saat itu banyak dari mereka yang belum masuk Islam.
Karena itulah mereka lantas ambil program 'kejar paket', belajar banyak kepada para shahabat yang senior dan lebih awal masuk Islam. Belajar isi kandungannya tentu, bukan sekedar hafalannya.
* * *
Lalu semua yang mereka ajarkan kepada shahabat junior itu pun terekam dengan sempurna dalam ingatan mereka.
Kemudian semua penjelasan itulah yang diriwayatkan lagi kepada murid-murid mereka di level para tabiin.
Lalu di abad berikutnya, semua penjelasan itu dikmpulkan menjadi satu kitab dan diurutkan berdasarkan urutan ayat dan surat di mushaf.
Jadilah cikal bakal kitab tafsir generasi pertama. Versi yang sudah lebih lengkap kemudian mulai ditulis ulama generasi berikutnya. Salah satunya yang disusun oleh Ath-Thabari (310 H).
Kita mengenalnya hari ini dengan sebutan Tafsir Ath-Thabari.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
10 Agustus 2022 pada 07.33