Benarkah Puasa Tanggal Sembilan Dzulhijjah Harus Mengacu Kepada Wuquf di Arafah?

Benarkah Puasa Tanggal 9 Dzulhijjah Harus Mengacu Kepada Wuquf di Arafah? - Kajian Islam Tarakan

Benarkah Puasa Tanggal 9 Dzulhijjah Harus Mengacu Kepada Wuquf di Arafah?

Pertanyaan :

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Ustadz Ahmad Sarwat, Lc.,MA yang dirahmati Allah.

Saya punya pertanyaan mohon dijawab. Masalah ini terkait dengan perbedaan penetapan lebaran haji di Indonesia dan di Arab Saudi, khususnya terkait dengan puasa sunnah Arafah tanggal 9 Dzulhijjah.

Seandainya pemerintah kita ini menetapkan hari Kamis lebaran haji, maka puasa tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada sehari sebelumnya yaitu hari Rabu. Lalu misalnya pemerintah Saudi Arabia menetapkan bahwa lebaran haji itu bukan Kamis tetapi misalnya hari Rabu, dan wuquf jatuh pada hari Selasa, lantas bagaimana dengan puasa dan lebaran kita di Indonesia ini?

Sebab kalau lebaran ditetapkan jatuh hari Rabu menurut pemerintah Saudi, dan sedangkan pemerintah kita menetapkan hari Kamis, lantas di hari Rabu itu kita malah berpuasa, bukankah hukumnya malah haram?

Jadi bagaimana sikap kita sebaiknya? Apakah kita tetap berpuasa dengan meyakini ketentuan dari pemerintah kita, ataukah kita harus ikut penetapan pemerintah Saudi Arabia?

Mohon pencerahannya ya ustadz. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.

Wassalam

Jawaban :

Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang ada sebagian orang yang berpandangan bahwa ada korelasi kuat dan mengikat antara puasa tanggal 9 Dzulhijjah dengan peristiwa wuquf di Padang Arafah. Seolah-olah puasa sunnah itu harus mengacu kepada kejadian wuquf. Lalu puasa itu harus mengikuti wuqufnya. Kalau wuquf hari Rabu di Arafah, maka orang sedunia harus ikut jadwal itu dengan berpuasa pada hari Rabu. Sebaliknya bila di Arafah wuquf hari Selasa misalnya, maka umat Islam sedunia harus berpuasa di hari Selasa.

Padahal kalau kita rujuk kepada bagaimana proses pensyariatan puasa tanggal 9 Dzulhijjah dan wuquf di Arafah, sesungguhnya kita akan menemukan faktwa bahwa antara kedua jenis ibadah itu sama sekali tidak ada kaitannya. Kita tidak menemukan dalil yang mewajibkan puasa dengan cara ikut orang wuquf atau sebaliknya. Karena kedua jenis ibadah itu disyariatkan secara terpisah dan sendiri-sendiri.

Puasa sunnah pada tanggal 9 Dzulhijjah itu sudah disyariatkan jauh sebelum Nabi SAW berhaji dan melaksanakan wuquf. Puasa itu menurut banyak riwayat telah mulai disyariatkan sejak tahun kedua hijriyah. Di tahun itu ada beberapa jenis ibadah yang berbarengan disyariatkan, seperti puasa bulan Ramadhan, Shalat Idul Fithr dan Idul Adha serta puasa tanggal 9 Dzulhijjah.

Sedangkan wuquf yang dilakukan oleh Rasulullah SAW belum disyariatkan di masa itu. Sebab Nabi SAW dalam posisinya sebagai pembawa wahyu dari langit baru berhaji di tahun kesepuluh hijriyah. Ada rentang waktu kurang lebih sembilan tahun lamanya. Artinya ketika di tahun-tahun kedua, ketiga hingga kesembilan Dzulhijah, Rasulullah SAW dan para shahabat melaksanakan puasa sunnah, pada saat itu di Arafah tidak ada jamaah haji yang wuquf. Arafah saat itu kosong tidak ada ritual haji.

Kalau puasa sunnah tanggal 9 Dzulhijjah harus mengacu kepada acara ritual wuquf di Arafah, maka seharusnya Nabi SAW dan para shahabat tidak perlu berpuasa sunnah tanggal 9 Dzulhijjah.

Memang benar bahwa bangsa Arab sejak masa Nabi Ibrahim alaihissalam masih menjalankan ibadah haji. Dan salah satu ritualnya adalah wuquf di Arafah. Namun penting sekali untuk dicatat disini bahwa bangsa Arab sebelum Rasulullah SAW melaksanakan haji tidaklah berhaji di bulan Dzulhijjah. Mereka terbiasa mengubah dan mengotak-atik jadwal ritual haji tiap tahunnya. Kadang haji mereka selenggarakan di bulan Dzulqa'dah, kadang di bulan Syawwal dan seringkali di bulan-bulan lainnya.

Dan karena itulah maka Allah SWT menyalahkan bangsa Arab yang suka menggonta-ganti jadwal ibadah haji tiap tahun. Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman :

إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُواْ يُحِلِّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِّيُوَاطِؤُواْ عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللّهُ فَيُحِلُّواْ مَا حَرَّمَ اللّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mensesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Setan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. At-Taubah : 37)

Ketika menafsirkan ayat ini, Al-Imam Al-Qurtubi (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya Al-Jami' li Ahkam Al-Quran menukilkan komentar dari mufassir besar yaitu Mujahid sebagai berikut :

كان المشركون يحجون في كل شهر عامين، فحجوا في ذي الحجة عامين، ثم حجوا في المحرم عامين، ثم حجوا في صفر عامين، وكذلك في الشهور كلها حتى وافقت حجة أبي بكر التي حجها قبل حجة الوداع ذا القعدة من السنة التاسعة. ثم حج النبي صلى الله عليه وسلم في العام المقبل حجة الوداع فوافقت ذا الحجة، فذلك قوله في خطبته: (إن الزمان قد استدار)

Orang-orang musyrik terbiasa melaksanakan haji untuk tiap bulan dua tahun dua tahun. Haji di bulan Dzulhijjah dua tahun, lalu haji di bulan Muharram dua tahun, kemudian haji di bulan Shafar dua tahun, dan begitulah seterusnya, sehingga haji yang dilakukan Abu Bakar sebleum haji Wada' jatuh pada bulan Dzul-Qa'dah di tahun kesembilan hijriyah. Tahun depannya, Nabi SAW berhaji jatuh di bulan Dzulhijjah. Disitulah beliau SAW bersabda,"Zaman telah berputar". [1]

Dari tafsir ini kita mendapat kesimpulan penting bahwa ternyata bangsa Arab jahiliyah meskipun berhaji dan wuquf di Arafah juga, namun jadwalnya bukan di bulan Dzulhijjah, dan tentunya tanggalnya pun juga bukan tanggal sembilan.

Dengan demikian, ketika kita beranggapan bahwa puasa tanggal 9 Dzulhijjah itu harus dikaitkan dengan wuquf di Arafah, sebenarnya tidak punya dasar sama sekali, karena bertentangan dengan realitas pensyariatannya di masa kenabian. Intinya adalah :

Puasa tanggal 9 Dzulhijjah sudah disyariatkan sejak tahun kedua setelah hijrah dan dilakukan oleh Nabi SAW beserta para shahabat setiap tahunnya.

Tetapi sepanjang 22 tahun selama masa kenabian, puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah tidak pernah berbarengan dengan wuquf di Arafah. Karena syariat haji baru dijalankan oleh beliau SAW dan para shahabat di tahun kesepuluh dari hijrah  atau setelah 22 tahun sejak kenabian.

Kalau pun orang Arab jahiliyah tiap tahun menyelenggarakan haji, ternyata jadwalnya bukan pada bulan Dzulhijjah. Sehingga pada tanggal 9 Dzulhijjah itu tetap saja tidak ada acara wuquf.

Kalau hari ini puasa tanggal 9 Dzhulhijjah harus diseusaikan jadwalnya dengan wuquf di Arafah, berarti justru bertentangan dengan realitas puasa di masa Nabi SAW.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Al-Imam Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Quran jilid 8 hal. 137

Sumber web : RumahFiqih (Sat 3 September 2016 03:30)

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Benarkah Puasa Tanggal Sembilan Dzulhijjah Harus Mengacu Kepada Wuquf di Arafah? - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®