Jika Syariat Bertentangan dengan Hakikat, Mana yang Didahulukan?

Jika Syariat Bertentangan dengan Hakikat, Mana yang Didahulukan?

Ilmu Ushul Fikih dan jawaban untuk pertanyaan "Jika syariat bertentangan dengan hakikat, mana yang didahulukan?"

Syariat itu ga sama dengan hakikat, tapi keduanya ga bisa dipisahkan, apalagi dipertentangkan. Makanya "jika bertentangan syariat sama hakikat, mana yang lebih didahulukan?" Itu pertanyaan atau pernyataan aneh, jika dia meyakini ada pertentangan diantara keduanya, kemungkinan dia tidak paham syariat dan tidak juga paham hakikat dalam mazhab sunniyah, pernyataan itu tidak lahir kecuali dari orang yang bermasalah pemikiran mereka tentang kenabian, dimana mereka berfikir bahwa nabi yang membawa risalah syariat itu berbeda dengan nabi yang membawa risalah hakikat. 

Jadi jika ada ibarat ulama mu'tabar yang zahirnya seperti itu, maka harus dilihat siyaqnya, dan ahlul fan menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah jika secara zahir bertentangan, bukan bertentangan fi nafsi amr(dalam arti sebenarnya). Dan pertentangan zahir itu sangat banyak dalam nash, baik dalam alquran ataupun atsar. Dan itu bukan pertentangan sebenarnya, tapi zahirnya saja

Maka dari itu, untuk memahami bagaiamana memahami pertentangan zahir dalam nash, para ulama menulis kitab ushul fikih, untuk menjelaskan semuanya secara ilmiyah, makanya dalam ushul fikih, khususnya bab istinbath, ada pembahasan mutlaq, muqayyad, am, khas, taarudh, tarjih, dll, itu semua agar kita bisa paham, kalau nash dari tuhan atau nabi tidak saling bertentangan pada hakikatnya. 

Nah, pembahasan hakikat juga bagian dari agama, jadi sudah seharusnya tidak bertentangan dengan syariat, karena yang menurunkan tuhan yang sama, yang menyampaikan juga nabi yang sama, jika keduanya bertentangan, kemungkinan besar agama/nabi yang bermasalah atau pemahaman kita yang bermasalah, tentu saja pemahaman kita yang bermasalah. 

Sebabnya? bisa macam-macam, salah satunya, terlalu banyak belajar otodidak dan tidak diimbangi dengan suhbah dengan ulama muktabar, jadinya buku yang dibaca ketinggian gak sesuai dengan malakah ilmiyah yang cuma bisa didapat melalui arahan guru, jadi teks-teks ilmu hakikat dipahami sendiri secara otodidak tanpa ada yang menegur, akhirnya tafsirin sendiri kalam arifin semaunya dan sesuai pemahaman sendiri. 

Jadi bukan kitab ulama yang bermasalah, bukan juga kalam mereka yang bermasalah, tapi pemahaman kita yang telah keluar dari manhaj ulama sunniyah dalam memahami teks arbab tasawuf yang bermasalah. Ini dia pentingnya suhbah dalam belajar ilmu apasaja dalam islam termasuk ilmu tasawuf, dan ini juga pentingnya mendalami ushul fikih sebelum masuk pembahasan yang dalam, apalagi yang rumit dalam ilmu apapapun, termasuk tasawuf. 

Jadi jangan kira ilmu tasawuf itu ilmu yang jauh dari ushul fikh dan jauh dari kata ilmiyah dan modal halu, ilmu ushul fikih itu, ilmu yang dipelajari agar kita bisa memahami ajaran islam dengan benar dan ilmiyah, baik itu aqidah, fikih atau tasawuf, semuanya tidak keluar dari kaidah ilmiyah ilmu ushul fikih. Jika ada yang keluar dari itu, dipastikan akan syadz dalam memahami agama

Tentu saja kita berbicara tentang tasawuf sunniyah, kalau anda mau bertasawuf tapi tidak menisbatkan diri dari ahlussunnah, ya itu urusan anda, kalam diatas ga berlaku untuk itu, tapi jika anda masih menisbatkan diri pada aswaja, dan tasawuf sunniyah, maka thalib ilm dan ulama aswaja ga akan diam melihat anda berbicara tasawuf dengan memisahkannya dengan keilmiyahan yang didasari ushul fikih.

Tasawuf itu ngaji rasa, tapi tanpa akidah dan fikih zahir, rasa dalam hati itu menjadi hawa nafsu. Bertasawuf tanpa sisi ilmiyah itu hawa nafsu, jadi yang berbicara tasawuf sunniyah tanpa dhabit keilmiyahan dia hanya berbicara tentang menuruti hawa nafsunya, hanya saja hawa itu dipoles dengan bahasa dan istilah arifin, jadi nampak indah, padahal talbis!! Maulana arrumi berbicara tentang keadaan dirinya, mereka menafsirkan perkataan rumi mengikuti keadaan hati dan nafsu mereka. Makanya walau mengutip kalam arrumi tapu pemahaman mereka bukan yang seperti arrumi inginkan, tapi yang mereka inginkan. Begitu juga kalam arbab lain yang seperti arrumi

Makanya jangan heran, jika ditentang sedikit pemahamannya langsung ngegas dan marah-marah, bahkan kadang mereka/mita akan keluar sombongnya, dimana seharusnya ketika mencapai makrifat sifat itu harus paling pertama hilang, jangan heran jika ada yang berbicara makrifat tapj tetap membawa dengan sifat sombong, sampai mengeluarkan kata-kata "ilmumu belum sampe", benar ilmu memang ga akan sampe ke hawa nafsu, dimana jika seorang menuruti hawa nafsunya, maka terhijablah cahaya ilmu darinya, tak ada lagi nasehat yang didengar, tak ada lagi kritikan yang direnungkan, karena yang ada dalam pikirannya, aku mengetahui apa yang kalian tidak ketahui, aku lebih baik dari kalian "ana khairun minhu". Makrifat apa yang sebenarnya kita bicarakan? Ma'rifat malakiyah atau iblisiyah?. Nasalullah alafiyah.

Sumber FB Ustadz : Fauzan Inzaghi

4 Juni 2022 pada 18.30  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Jika Syariat Bertentangan dengan Hakikat, Mana yang Didahulukan? - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®