Menulis Khilafiyah Secara Proporsional
Ketika saya memulai debut sebagai penulis, basic saya diawali sebagai jurnalis yang memegang teguh prinsip dan kaidah jurnalistik dalam pemberitaan.
Prinsip dasar seperti cover both side, tidak berpihak berdasarkan like and dislike, dan selalu menulis pakai rujukan dan fakta yang akurat, bagi saya merupakan aqidah dasar yang kalau dilanggar akan menggugurkan identitas sebagai jurnalis sejati.
Hanya saja saya kebetulan juga kuliah di fakultas Syariah jurusan perbandingan mazhab. Mata kuliah fiqih yang diajarkan langsung ke komparasi perbandingan empat mazhab.
Maka gaya penulisan saya ketika menjawab pertanyaan yang bersifat khilafiyah mendapatkan kecocokan dengan gaya jurnalistik yang saya tekuni.
Asal tahu saja bahwa semua masalah dalam ilmu fiqih itu tidak pernah sepi dari khilafiyah. Dan core bisnis kuliah yang saya tekuni memang melakukan penelitian dan komparasi atas perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya empat mazhab.
***
Namun gaya penulisan yang proporsional dan seimbang itu buat sebagian kalangan dianggap aneh dan asing. Sebagian malah menuduh saya tidak konsisten, plin-plan dan tidak jelas orientasinya.
Terus terang saya sendiri pun bisa memahami keluhan sebagian kalangan yang terbiasa belajar fiqih dengan sistem satu pendapat saja. Mereka memang terbiasa diajarkan bahwa kebenaran hanya satu. Kalau tidak sesuai dengan kebenaran versi seleranya pribadi dan gurunya, dipastikan itu kesalahan dan kesesatan.
Saya sebenarnya bisa memahami kenapa banyak kalangan yang terdidik dengan pendekatan satu pendapat dan tidak bisa menerima adanya pendapat lain yang berbeda.
Cara itu memang diperlukan, khususnya buat para pemula yang baru belajar ilmu fiqih. Sebab kalau masih pemula sudah disodorkan dengan banyak pendapat, pastinya akan bingung sendiri.
Bahkan bisa terperosok kepada paham anti mazhab atau mazhab campur-aduk seenaknya.
***
Dalam pandangan saya, khusus buat pemula yang lebih tepat memang hanya mengajakan satu pendapat saja. Tapi tujuannya bukan untuk didiskusikan atau untuk adu pendapat. Tujuannya sekedar untuk dijalankan dan diamalkan.
Itulah dasar-dasar yang harus dimiliki oleh setiap individu muslim. Proses seperti itu wajib dijalani.
Catatannya, kalau sudah menguasai hal-hal yang mendasar itu, boleh lah kemudian menaikkan level mempelajari perbandingan mazhab yang beda-beda pendapat menjadi amat dominan.
Tujuannya pun bukan untuk menang-memangan, tapi untuk bisa saling bertoleransi dan saling menyikapi perbedaan dengan keluasan pandangan. Serta tidak bersikap memusuhi saudara sendiri yang kebetulan punya pandangan yang berbeda.
Kepada kalangan yang sudah sampai di level inilah kemudian saya menuliskan kajian fiqih perbandingan mazhab dan fiqih ikhtilaf. Dan nampaknya ceruk ini masih agak jarang ditulis orang.
Mungkin hanya karena kurang terbiasa saja untuk menulis secara proporsional. Saya bisa maklum, sebab kalau kita terbiasa menghadapi santri awalan yang memang masih harus diajarkan satu pendapat saja demi kepraktisan, maka kajian perbandingan mazhab menjadi rada asing di telinga.
***
Sekedar catatan, setiap penulis punya genre pembaca masing-masing. Beda penulis beda kriteria pembaca.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
1 Mei 2022