MENGAPA MUJTAHID KADANG MENINGGALKAN SATU DALIL?
Al-Hafiz Ibn Khuzaimah pernah ditanya, apakah Imam Syafi'i radhiyallahu 'anhu menghafal seluruh hadits-hadits ahkam yang shahih (hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan hukum fikih)? Beliau menjawab, tidak ada hadits ahkam yang tidak dihafal oleh Imam Syafi'i. Sebuah testimoni agung dari seorang hafiz hadits ternama dan tentu sangat tidak mungkin testimoni itu diucapkan secara sembarangan.
Imam Nawawi pernah mengungkap bahwa, untuk mengklaim Imam Syafi'i tidak mengetahui hadits Nabi tertentu, atau tidak tahu keshahihannya, adalah ketika kita sudah menelaah semua kitab-kitab beliau dan juga kitab-kitab murid beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Dan syarat ini amat berat serta amat sedikit sekali orang yang mampu melakukannya. Sebab ternyata banyak hadits yang zhahirnya ditinggalkan oleh Imam Syafi'i karena alasan-alasan tertentu.
Kita akan ambil contoh kasus anak laki-laki menjadi wali nikah ibunya sendiri dimana jumhur ulama seperti diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal membolehkan, sementara Imam Syafi'i tidak membolehkan. Bagi mereka yang pede dan tergesa-gesa akan bilang bahwa Imam Syafi'i ini tidak mengetahui hujjah jumhur, yaitu Anas bin Malik yang menjadi wali nikah ibunya saat menikah dengan Abu Thalhah dan Umar bin Abi Salamah yang menjadi wali ibunya saat menikah dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan dua kisah ini secara shorih menegaskan tentang seorang anak yang boleh menikahkan ibunya sendiri.
Lalu apakah Imam Syafi'i tidak mengetahui riwayat itu? Tentu saja beliau mengetahui. Tapi mengapa beliau tidak mengambil riwayat tersebut? Alasannya adalah karena Anas bin Malik menikahkan ibunya (Ummu Sulaim) dengan Abu Thalhah sebab alasan ia masih ashobah nasab ibunya, bukan karena hubungan anak dan ibu (bunuwah). Dan dalam mazhab Syafi'i, seorang anak atas nama ashobah nasab boleh menikahkan ibunya sendiri.
Kemudian argumentasi madzhab Syafi'i terhadap kasus Umar bin Abi Salamah yang menikahkan ibunya (Ummu Salamah) dengan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam adalah:
1. Rasulullah memerintahkan Umar untuk menikahkan ibunya karena untuk melegakan hati Umar saja, bukan dalam rangka mengesahkan, sebab Rasulullah boleh menikah tanpa wali.
2. Ummu Salamah ketika berkata kepada Rasulullah bahwa tidak ada wali yang hadir saat itu dimaknai bahwa memang tidak ada wali sama sekali dan Umar bukan wali nikah, sehingga kewalian Umar hanya untuk melegakan hati saja.
3. Umar saat itu belum baligh (umur 6 atau 7 tahun). Jadi, perintah Rasulullah agar dia menikahkan ibunya ada kemungkinan bukan dengan maksud ia yang menjadi wali nikah, tapi mencarikan orang yang akan menikahkan ibunya. Andaipun ia benar sudah baligh, maka Umar menikahkan karena hubungan anak paman, sebab Umar adalah anak cucu paman Ummu Sulaim.
Dengan itu, ada alasan-alasan tertentu mengapa mujtahid terkadang meninggalkankan zhahir satu hadits. Bukan karena ia tidak tahu, tapi karena ia memiliki ta'wil dan alasan lain. Sama seperti Imam Malik yang tidak mengamalkan 70 hadits shahih dalam al-Muwaththo', karena dianggap bertentangan dengan amal ulama' Madinah dan mungkin alasan lain.
Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur
6 Mei 2022 pada 11.44 ·