Boleh Belajar Madzhab Asal Jangan Fanatik?
Sebagian orang mengatakan, "Boleh belajar madzhab, asal jangan fanatik."
Sering saya sampaikan bahwa setiap pendapat sebetulnya adalah madzhab. Pendapat ustadz A adalah madzhabnya. Pendapat syekh B juga merupakan madzhabnya. Pendapat imam C juga menjadi madzhabnya. Minimal disebut sebagai "ikhtiyar" (pilihan) kalau ia sudah punya afiliasi kepada Madrasah Fiqhiyyah tertentu.
Jadi tidak ada orang yang tak bermadzhab. Yang ada hanyalah orang mengikuti madzhab orang lain atau mengikuti madzhab dirinya sendiri. Yang mengikuti madzhab orang lain ada yang berdasarkan kajian dan penelitian. Ada juga yang hanya berdasarkan taklid.
Tapi bagaimana dengan istilah "fanatik"? Apa parameter kefanatikan? Apakah orang yang mempertahankan argumentasinya sendiri disebut fanatik? Apakah untuk disebut "tidak fanatik" seseorang harus menjadi seorang relativis, yaitu memandang bahwa kebenaran adalah relatif? Di sinilah subjektivitas muncul.
Pada kenyataannya, banyak orang bilang "jangan fanatik" tapi ia sendiri fanatik dengan pendapatnya sendiri dan pendapat gurunya. Bahkan orang yang membela relativisme pun tak jarang marah ketika pendapatnya dikritik. Katanya "jangan fanatik" dan "kebenaran itu relatif"? Kenapa harus marah kalau pendapatnya dikritik?
Baca juga kajian ulama tentang mazhab berikut :
- Sujud Syukur Yang Benar Menurut Syafiiyah
- Makmum Pada Imam Beda Madzhab
- Imam Besar Madzhab Maliki Membahas Sifat Kalam Allah
- Cara Mengangkat Jari Telunjuk Saat Tahiyat Dari Madzhab Empat
- Meski Tak Sepakat, Hargai Jugalah ‘Mazhab’ Masyarakat
Sumber FB : Danang Kuncoro Wicaksono
8 Mei 2022 pukul 07.54 ·