JANGAN PERNAH LEBAY DENGAN “KARAMAH”!
Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Jangan pernah berlebihan dengan apapun yang dianggap sebagai keajaiban.
Sebab sepanjang sejarah, keajaiban itu punya dua sisi: Bisa menyesatkan dan bisa juga menambah iman.
Keajaiban yang menambah iman adalah karamah pada kekasih Allah. Keajaiban yang bisa menyesatkan, bahkan mengkafirkan adalah yang dimiliki Dajjal Akbar di akhir zaman.
Jangan pernah lebay dengannya.
Jangan pernah terlalu me-“wow”-kan saat melihatnya.
Jangan pernah juga mengejarnya dalam tasawuf.
Itu sungguh ketertipuan yang mengerikan.
Malahan, di zaman penuh fitnah seperti saat ini, nampaknya sudah saatnya untuk “meremehkan” dan “mendesakralisasi” semua keajaiban, atau paling tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa, tidak perlu membuat decak kagum dan tidak perlu dianggap terlalu istimewa sama sekali.
Untuk menutup pintu fitnah seperti: orang-orang berhalusinasi dipercaya dalam agama Allah
Untuk menutup pintu fitnah seperti: orang yang ditipu setan dipercaya dalam agama Allah.
Untuk menutup pintu fitnah seperti: para juhala’ pelanggar syariat dipercaya dalam agama Allah
Dan yang terpenting: untuk menutup pintu fitnah terbesar: agar saat Dajjal Akbar muncul, kita tidak terpesona dan terfitnah dengan segala “karamah”nya
Coba kita renungkan.
Emang, apa apa sih hebatnya sesuatu yang dianggap sebagai keajaiban itu?
Apakah orang mendapatkan “keajaiban” itu pasti diridai Allah dan dijamin di akhirat pasti selamat?
Jika sampai ada keyakinan seperti itu, maka itu adalah di antara tipuan setan paling menyedihkan dan di antara seburuk-buruk angan-angan dari orang yang berikrar dirinya beriman.
Keajaiban itu bukan hal paling istimewa.
Biasa saja.
Hakikatnya semua perbuatan Allah itu ya ajaib. Hanya saja, kadang-kadang Allah memunculkan yang tidak biasa dilihat untuk hikmah yang dikehendakiNya.
Kalau hanya dikasih mimpi yang benar (ru'yā ṣādiqah), maka raja kafir di zaman nabi Yusuf juga mendapatkannya. Rabī‘ah bin Naṣr, Raja Yaman yang mimpinya ditafsirkan Syiqq dan Saṭīḥ juga mendapatkannya, padahal dia musyrik.
Kalau hanya sekedar tahu isi hati orang, Ibnu Ṣayyād juga bisa melakukannya
Kalau hanya sekedar tahu ucapan orang di dalam rumahnya, maka Musailimah al Kāżżāb, si nabi palsu juga bisa.
Kalau hanya berjalan di atas air, maka kadal Basilisk juga bisa.
Kalau hanya terbang di udara, burung ciptaan Allah juga bisa. Saya juga bisa terbang di udara dengan naik pesawat.
Kalau hanya melihat malaikat, maka Samiri pelopor musyrik di bani Israel juga bisa. Kaum nabi Lūṭ yang hendak dibinasakan Allah dengan hujan batu juga bisa melihat malaikat.
Bahkan Dajjal Akbar akhir zaman itu nanti juga penuh keajaiban, bisa menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, mengeluarkan harta karun, menggemukkan ternak-ternak dan lain-lain. Justru itu jualan terpentingnya untuk menyesatkan miliaran manusia.
Kalau hanya melihat alam malakut, maka Iblis terlaknat juga pernah memilikinya. Bahkan dia juga pernah mendapatkan kemuliaan berbincang-bincang dengan Allah!
Jadi apa istimewanya semua keajaiban itu jika ternyata juga diberikan Allah kepada hamba-hambaNya yang dibenciNya juga?
Orang yang paling istimewa dan mengagumkan itu bukan orang yang punya keajaiban.
Tapi yang sungguh luar biasa ajaib adalah orang yang sanggup MENAHAN HAWA NAFSUNYA untuk taat kepada Allah dan MENGUTAMAKAN RIDA ALLAH daripada kepentingannya sendiri. Kemampuan ini bahkan tidak sanggup dilakukan oleh nabi Adam saat awal beliau diuji dengan Iblis.
Keajaiban itu diberikan Allah kepada hamba yang dicintaiNya sebagai karamah, tapi juga diberikan kepada hamba yang dibenciNya sebagai fitnah dan ujian.
Ciri orang yang dicintai Allah adalah mengikuti jalan hidup Rasulullah ﷺ, terikat dengan syariat dan menjalankan Al-Qur’an dan Sunah.
Jadi keajaiban semata-mata tidak cukup. Harus dikontrol dengan ilmu.
Itu kuncinya.
Sesuai dengan syariat apat tidak.
Cocok dengan Al-Qur’an dan Sunah atau tidak.
Ilmu itulah pembeda antara wali Allah dengan wali Setan.
Walau punya 1000 Keajaiban, kalau melanggar syariat, maka itu penyesat.
Diriwayatkan al-Syāfi‘ī berkata,
«لو رأيتم رجلاً يسير في الهواء. أو يمشي على الماء لا تقبلوا منه دعوى الولاية حتى تعرضوا أعماله على الكتاب والسنة». [«تصحيح المفاهيم في جوانب العقيدة» (ص86)]
Artinya,
“Jika kalian melihat orang berjalan di atas udara atau berjalan di atas air, jangan terima klaim kewaliannya sampai kalian cek amalnya apakah sesuai Al-Qur’an dan Sunah”
Sumber FB Ustadz : Muafa
25 Maret 2022 ·