Ada PDF-nya Nggak?
Oleh : Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Hampir setiap hari saya ditanya orang dengan pertanyaan lugu bin lucu ini,"Ada pdf-nya nggak, ustadz?".
Kenapa saya bilang ini pertanyaan lugu bin lucu? Karena untuk saat ini buku terbitan di Indonesia itu tidak pernah dijual resmi lewat format pdf. Tidak ada satu pun penerbit yang menjual buku dalam format pdf.
Tapi file pdf yang isinya sekedar makalah lepas atau tulisan free yang memang tidak dijual resmi sebagai produk penerbitan komersial, tentu halal dan sah. Buku dalam format pdf yang sejak awal digratiskan hukumnya halal didownload. Contohnya bisa didapatkan di web rumahfiqih.com/pdf .
Tapi kalau buku komersial yang dicetak dan dijual di toko buku, kok discan dan dibuatkan versi pdf-nya oleh pihak tertentu, lalu disebarkan lewat internet sebagaimana pembalakan liar, jelas hukumnya haram.
Sebagaimana tidak ada perusahaan label rekaman yang menjual lagu lewat keping CD dalam format mp3. Isinya kompilasi kumpulan banyak kaset yang direkam secara ilegal dan dijual liar versi mp3. Kalau pun dulu dijual dalam keping CD, formatnya bukan mp3 tapi format lain.
* * *
Lalu kenapa menyebarkan buku pdf itu haram? Bukankah kita wajib menyebarkan ilmu, apalagi ilmu agama?
Jadi begini biar saya jelaskan baik-baik. Menyebarkan ilmu itu memang wajib, tapi 'nyolong' buku tetap haram. Bahkan nyolong mushaf pun haram juga. Bukan kah nyolong sendal tetap haram, meski dilakukan di masjid? Nyolong kotak amal juga haram, meski di kotak amal itu tertulis huruf Arab.
Intinya nyolong itu haram, apapun judul dan motivasinya.
Di dalam Al-Quran, hukuman buat orang yang nyolong alias mencuri itu dipotong tangannya. Tidak perduli apakah pencuri itu laki-laki atau perempuan.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah : 38)
Mereka yang biasa membaca kitab fiqih klasik pasti protes, bahwa mengkopi file pdf itu tidak termasuk bab pencurian, karena syarat pencurain tidak terpenuhi, sehingga tidak boleh dipotong tangan.
Oke lah tidak dipotong tangan. Tapi tetap saja mengambil dan memakan harta milik orang lain haram hukumnya. Bukankah Allah juga telah berfirman :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil (QS. Al-Baqarah : 188)
***
Pertanyaannya : bagaimana logika mencopy file pdf dari buku terbitan resmi bisa dianggap 'mengambil harta' hak milik orang lain?
Sebuah buku yang diterbitkan dan dijual itu pada dasarnya adalah harta milik orang lain. Kalau dibuatkan pdfnya tanpa izin resmi lalu disebarkan di internet, maka orang tidak mau lagi beli buku yang ada di toko buku. Mending mereka download saja. Soalnya gratis dan tanpa biaya.
Apalagi para guru dan ustadznya kerok, main halalkan saja dengan hawa nafsunya, tanpa pernah mengkaji lebih dalam hakikat mencopas file pdf pada dasarnya adalah mengambil harta orang lain secara haram.
Lalu bagaimana buku yang dijual itu merupakan harta milik orang?
Perlu diketahui bahwa sampai tersedianya buku di etalase toko buku punya jalan panjang sejak ditulis oleh penulisnya. Menulis naskahnya saja memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Belum lagi proses editing dan koreksinya.
Di zaman dulu ketika belum ada mesin cetak, buku yang ditulis tidak pernah menjadi sumber kekayaan. Sehingga seluruh ulama ketika menulis memang sejak awal mendedikasikan usahanya demi untuk mencatat dan mengabadikan ilmunya.
Di masa itu tidak ada toko buku yang menyediakan buku hasil penggandaan dari naskah aslinya. Kalau pun ada murid yang belajar suatu ilmu dari gurunya, maka dia tidak membeli buku karya gurunya, karena memang tidak tersedia di toko buku.
Para murid itu harus hadir setiap hari di majelis ilmu yang digelar oleh sang guru, sambil membawa alat tulis yang gunanya untuk mencatat pelajaran dari sang guru.
Namun pada periode berikutnya, karena catatan para murid itu sering tidak lengkap, atau salah tulis, bahkan keliru, maka sang guru kemudian memerintahkan muridnya untuk menyalin langsung dari buku karya sang guru.
Mulailah zaman salin menyalin buku marak di tengah kalangan pembelajar. Namun yang dimaksud dengan menyalin itu bukan mencetak, ingat bahwa di masa itu belum ada mesin cetak.
Jadi kalau dibilang menyalin buku, berarti buku itu ditulis ulang pakai tangan. Kalau jumlahnya seribu halaman, bisa berminggu-minggu dan berbulan proses penyalinannya. Namanya juga disalin secara manual.
Karena tidak semua murid mampu mengerjakannya, kemudian muncul jasa penyalinan buku. Mereka disebut dengan warraq, yaitu ahli kaligrafi yang bisa menyalin buku dengan rapi, bagus dan cepat. Tentu saja jasa menyalin buku pakai imbalan dan jadi pemasukan tersendiri bagi para warraq.
Karena tugasnya hanya menyalin buku, memang tidak dibutuhkan level keilmuan khusus. Yang penting bisa baca dan mahir menulis. Kira-kira di zaman sekarang, agak kemarin-kemarin sih, seperti jasa pengetikan komputer dari tulisan tangan.
Ada sebuah cerita menarik tentang jasa penyalinan buku. Disebutkan seekor nyamuk ditepuk mati dan jatuh di halaman sebuah buku. Ketika buku itu mau disalin oleh seorang warraq, dia bingung dan bertanya dalam hati,"Ini huruf apa ya? Apakah sebuah kode atau lambang khusus?".
Dari pada salah, maka ditirunya bentuk nyamuk mejret itu apa adanya semirip mungkin dengan yang ada di buku aslinya. Tanpa pernah sadar bahwa sebenarnya itu tubuh nyamuk yang mejret.
Ketika dicek hasilnya, benar saja ada gambar nyamuk mejret disana. Digambar persis seperti aslinya. Sudah macam mesin photocopy di zaman sekarang.
* * *
Lalu ditemukan lah mesin cetak oleh Johann Gutenberg (1400-1468). Dari sinilah mulai terjadinya revolusi besar di abad 15 masehi. Naskah buku yang dulunya hanya bisa disalin secara manual oleh para warraq, dalam waktu sekejap bisa dicetak dalam jumlah ribuan.
Mereka yang punya mesin cetak untung besar dari hasil penggandaan buku secara masif. Disini ketimpangan mulai terjadi. Betapa tidak adilnya hidup ini. Bayangkan, para penulis buku yang susah payah menuliskan naskah aslinya tidak dapat apa-apa, mereka hidup dalam keadaan fakir di bawah garus kesejahteraan.
Sementara orang kaya, dengan uang yang dimilikinya bisa membeli mesin cetak. Memang lumayan mahal harga di awalnya, tetapi mesin cetak itu ibaratnya bukan mencetak buku tapi mencetak uang.
Hasil dari cetakan mesin itu tiba-tiba membuatnya menjadi kaya raya. Sebuah peluang bisnis yang amat menggiurkan, tapi hanya bisa dilakukan oleh orang kaya.
Padahal buku yang digandakan itu tidak lain adalah hasil keringat orang miskin. Jelas lah ini sebuah ketidak-adilan. Sebejat-bejatnya moral manusia, pasti tidak mungkin membiarkan kezhaliman macam ini berjalan.
Mungkin ada yang bilang, kenapa para penulis naskah buku itu tidak mencetak sendiri saja buku-bukunya? Kenapa tidak mereka terbitkan sendiri?
Seharusnya memang begitu kalau kejadiannya di zaman sekarang. Tapi di masa lalu, harga mesin cetak itu mahal sekali dan tidak terjangkau. Bahkan di zaman sekarang pun masih terbilang mahal.
Apa daya para penulis naskah yang memang bukan orang kaya. Mereka tidak mampu membeli mesin cetak yang harganya mahal tak terjangkau. Lagian kalau pun mereka bisa beli mesin cetak, bagaimana cara memasarkannya. Mereka bukan pedagang.
***
Namun orang-orang di masa lalu tidak kekurangan akal. Mereka berhasil memaksa para pemilik mesin cetak untuk berbagi keuntungan hasil penjualan buku kepada pemilik naskah.
Maka pihak penerbit diharuskan membeli dulu naskah itu dari penulisnya. Yang dibeli sebenarnya bukan fisik bukunya, tapi hak untuk menggandakan dan menjual buku hasil penggandaannya.
Ada banyak model, biasanya kalau tidak beli putus bisa juga pakai sistem royalti. Kalau beli putus, misalnya penulis dipesan untuk menulis naskah dan dibayar sekian puluh juta atas naskahnya. Dan untuk seterusnya naskah itu jadi milik penerbit.
Atau bisa juga dengan sistem royalti, dimana naskah itu tetap milik penulis, namun untuk kurun waktu tertentu dijual kepada suatu penerbit dan sistem royalti. Katakanlah untuk setiap satu buku yang terjual, ada harta yang ditetapkan menjadi hak milik penulis naskah. Sebutlah misalnya sepuluh persen. Jadi kalau harga jual sebuah buku 100 ribu, maka hak penulis adalah 10 ribu.
Kok lebih besar bagian pemilik mesin cetak? Kenapa tidak bagi hasil 50:50 saja?
Pada dasarnya menjual buku itu menjual kertas. Katakanlah buku itu isinya hanya kertas kosong saja, itu pun tidak murah modalnya. Jadi sejak awal pihak pencetak juga juga berkorban, yaitu menyediakan kertas, tinta, cover, desain, layout bahkan editor sampai ke utusan distribusi, marketing dan fee para sales dan toko buku.
Sementara penulis naskah tugasnya hanya menulis saja, kalau dia terima bersih 10% dari harga jual, sudah lumayan pemasukannya. Lagian penulis tidak perlu keluar duit serupiah pun memodali bisnis penjualan buku yang modalnya milyaran itu.
Saya jadi teringat seorang teman yang membiayai sendiri proses pencetakan karyanya. Tidak kurang dari 5 milyar harus dia sediakan untuk mencetaknya. Kebetulan bentuknya ensiklopedi berjilid-jilid full color. Pantas saja mahal banget biaya produksinya.
Bangga sih bangga bisa menerbitkan ensiklopedi. Tapi ngomong-ngomong sudah lebih dari sepuluh tahun modalnya saja belum kembali. Padahal 5 milyar itu pun hasil pinjam sana-sini, bukan uang pribadi. Setiap hari hidup stress karena yang punya uang menagih pengembalian.
Sementara kalau kita jadi penulis naskah, hidup kita tenang, tidak ada urusan kembalikan modal. Cukup ngecek saldo di rekening yang setiap saat ada transferan masuk.
***
Jadi bisnis peneribitan buku adalah bisnis yang butuh modal besar, karena mesin cetak itu hanya bisa terjangkau kalau mencetaknya dalam jumlah besar.
Di masa lalu menerbitkan buku minimal sekali tiga ribu eksemplar. Kalau biaya produksinya 50 ribu per biji, maka harus disediakan modal 3.000 x 50.000 = Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta).
Begitu buku selesai dicetak, maka pekerjaan yang sesungguhnya baru dimulai, yaitu bagaimana memasarkan buku ini hingga sampai ke tangan pembeli. Uang hasil penjualan buku itu kemudian yang nantinya akan dibagi-bagi seusai dengan kesepatakan.
Di situ ada haknya penulis, hak penerbit, hak editor, hak desain grafis, hak buruh cetak, hak bagian pemasaran hingga hak distributor dan hak toko buku. Ada banyak rejeki orang di uang pembayaran buku itu.
Kalau tiba-tiba ada tangan usil beli hanya satu buku, lalu satu buku discan seluruhnya jadi file pdf dan disebarkan di internet, maka ribuan eksemplar copy buku di berbagai toko buku jadi tidak laku karena tidak ada lagi yang membelinya.
Logika semua orang pasti sama, kalau ada pdf-nya, ngapain beli buku fisiknya?
Logika kayak gini kelihatan sederhana, tapi bayangkan sebenarnya Anda sedang merampas rejeki banyak orang. Bukannya mengajak orang untuk membeli bukunya, biar modalnya kembali dan hak-hak para pekerja di belakagn terbitnya sebuah buku bisa diberikan, eh malah ngajarin yang nggak benar, ikutan menyebarkan pdf-nya.
Kalau yang model kayak itu memang penjahat kambuhan, kita masih bisa maklum. Namanya juga penjahat.
Tapi kalau yang menyebarkan file pdf itu seorang yang terpelajar, aktifis dakwah, doyan ngaji, rajin ibadah, bahkan termasuk anti riba. Malah bisa saja dia seorang guru, dosen bahkan ustadz.
Kan jadi bingung kita. Mau kita apain orang-orang kayak gini? Apa mau kita kutuk jadi batu saja? Kok ya nggak tega, walaupun perbuatan mereka memang keterlaluan.
Disitulah saya merasa sedih. Tambah sedih lagi ketika tiba-tiba yang bertanya : Ada file pdf-nya nggak, Ustadz?
Gue gampar juga luh
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
16 Maret 2022 ·