Hadits Shahih
Semua sepakat bahwa hadits Shahih itu salah satu sumber dalam proses menarik kesimpulan hukum syariah.
Namun yang lebih harus difokuskan justru proses istimbathnya, jangan berhenti hanya pada keshahihan haditsnya.
Kalau shahihnya sih shahih. Tapi cara menerapkannya sudah benar?
Itulah alasan kenapa Bukhari dan Muslim tidak termasuk jajaran fuqaha atau mujtahid ahli istimbath.
Meski keduanya penyusun kitab hadits tershahih, namun hadits Shahih itu masih bahan mentah yang perlu diolah dan diproses secara sistematis untuk bisa didapat kesimpulan hukumnya.
Yang kita butuhkan bukan sekedar Shahih atau tidak sahih, tapi bagaimana cara mengistimbath hukum.
oOo
Rice cooker itu memang alat menanak nasi, tapi cara kerjanya dicolokin listrik, bukan ditarok di atas kompor ya, nak.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
2 Desember 2021·
Hadits Shahih
Gara-gara kuliah di LIPIA fakultas Syari'ah, pemikiran saya jadi banyak berubah. Dulu sebelum ketemu mata kuliah Hadits, Fiqih dan Ushul Fiqih, saya kira semua hadits Shahih itu pasti sejalan.
Karena para ustadz kan ceramah dimana-mana kayak gitu. Mereka bilang : Kalau ada hadits dhaif, buang saja. Cukup lah kita pakai yang Shahih saja.
Nah wajar kan kalau dalam banyak hal, kita punya kriteria sederhana : haditsnya Shahih nggak?
Ternyata masuk kuliah Syariah, saya keliru total. Ternyata banyak sekali hadits-hadits Shahih yang justru saling bertentangan.
Di kitab Bulughul Maram dan salah satu Syarahnya yang jadi kitab muqarar di LIPIA : Subulus Salam, saya menemukan banyak sekali hadits-hadits Shahih yang saling bertentangan.
Begitu juga di dalam Kitab Bidayatul Mujtahid yang jadi muqarar mata kuliah Fiqih, berkali-kali Ibnu Rusdy sang muallif menerangkan bahwa sebab khilafiyah suatu masalah adalah : ta'arudh al-atsar atau hadits-haditsnya saling bertentangan.
Lulus LIPIA saya meneruskan kuliah S-2 di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta. Ketemu dosen pak Profesor KH. Ali Mustafa Ya'qub. Beliau ngajar hadits dan judul matakuliahnya sangat spesifik : Ikhtilaful Hadits.
Tidak lagi bicaranya : haditsnya Shahih apa nggak. Tapi bicara next level : Semua hadits ini Shahih, tapi saling bertentangan. Jadi kesimpulan hukumnya gimana ya?
Untung saya pernah kuliah S-1 Fakultas Syari'ah Jurusan Perbandingan Mazhab. Kalau ditanya bagaimana kesimpulannya, jawabnya sederhana sekali : kesimpulan menurut siapa?
Menurut Hanafi begini. Menurut Maliki begitu. Menurut Syafi'i begini. Dan menurut Hambali begitu. Namanya juga khilafiyah.
Terus yang benar yang mana?
Oh mudah sekali. Kalau menurut Hanafi yang benar ya Hanafi. Tapi menurut Maliki jelas yang benar itu Maliki dong. Sedangkan menurut Syafi'i yang benar pendapat Syafi'i. Lain lagi menurut Hambali, yang benar ya mesti Hambali.
Lalu saya sendiri bermazhab apa?
Nggak mungkin lah ujug-ujug saya bermazhab Hanafi, Maliki atau Hambali. Kapan belajarnya, dimana, siapa gurunya?
Kalau Syafi'i ya pasti lah. Kan sejak kecil belajar fiqihnya pakai Safinatun Najah lanjut Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, lanjut Kifayatul Akhyar.
Semua itu kitab fiqih mazhab Syafi'i. Saya ngajinya pakai literatur kitab fiqih Mazhab Syafi'i, sangat tidak masuk akal kok tiba-tiba berubah jadi tidak Syafi'i.
Kalau urusan hadits Shahih, Imam As-Syafi'i memang peletak dasar ilmu hadits. Bahkan salah satu karya fenomenal beliau adalah kitab berjudul : Ikhtilaful Hadits.
Jadi urusan Shahih atau tidak Shahih suatu hadits sudah lewat kemana-mana. Tinggal ini masalahnya ada banyak hadits Shahih, kesimpulannya gimana.
So, intinya bukan haditsnya Shahih apa nggak. Tapi bagaimana kesimpulan hukumnya.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
Kajian Hadits · 29 Maret 2021·