Rumah Fiqih Indonesia
Kok nggak pakai kata : ulama? Karena isinya memang bukan ulama. Isinya cuma santri, murid, mahasiwa, pembelajar dan mereka yang haus ilmu.
Kenapa fokus kepada fiqih? Kenapa bukan Quran, Sunnah atau lainnya?
Sebenarnya sederhana saja, karena kami ini dulunya kuliah di fakultas syariah. Mata kuliah utama adalah Ilmu Fiqih. Meski pun belajar Qur'an dan Sunnah juga.
Saya sendiri kuliah S-2 dengan konsentrasi Ilmu Al-Quran dan Ilmu Hadits. Dan di S-3 pun prodinya Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Kuliah Syariah itu di jenjang S-1.
Jadi kalau pun kita mendirikan institusi, yang kita besarkan bukan diri kita, tapi ilmunya, yaitu Ilmu Fiqih.
Dan kebetulan sekarang ini di tengah eforia jargon kembali ke Quran dan Sunnah, yang paling banyak kena fitnah salah satunya ilmu fiqih.
Ilmu Fiqih ini paling sering dibentur-benturkan dengan Qur'an dan Sunnah. Dalam salah satu pertemuan dengan beberapa tokoh ormas, ketika saya diminta memperkenalkan diri dan nama institusi, saya menyebut nama : Rumah Fiqih.
Spontan ada yang nyeletuk, wah wah hari gini masih ribet dengan fiqih, kapan maju umat ini?
Maka sebagai ilmu yang kenyang difitnah dan diperlakukan kurang adil oleh banyak pihak, wajar kalau kita para mahasiswa lulusannya ikut bertanggung-jawab meluruskan anggapan yang terlanjur miring.
Jadilah kita sepakati namanya : Rumah Fiqih Indonesia.
Isinya sekedar memperkenalkan ilmu-ilmu keislaman. Bukan gerakan politik, sosial atau pun gerakan-gerakan apapun. Tidak ada afiliasi ini dan itu.
Isinya murni cuma pengajian saja, ngaji ilmu fiqih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya juga sih.
Lalu kenapa ada Indonesia nya segala? Bukan kah agama Islam itu tidak mengenal batas negara?
Pertama, karena kita orang Indonesia dan berbahasa Indonesia. Fiqih yang kita ajarkan pastinya berbahasa Indonesia. Bukan berbahasa Arab.
Walaupun kita semua belajar fiqih dalam bahasa Arab, soalnya doktor kita rata-rata orang Arab, kitab yang kita bedah tiap hari pun kitab berbahasa Arab.
Namun karena kita tinggal di Indonesia, jadi cukuplah kita konsentrasi di wilayah Indonesia.
Kalau pun saya pernah diundang ke Jepang, Qatar, Singapura, Malaysia, Hongkong, tapi tetap saja audiencenya orang Indonesia juga.
Kan kurang pas kalau disebut Rumah Fiqih Internasional. Aneh rasanya. Atau Rumah Fiqih Dunia. Makin lucu, nanti ada yang tanya: kalau Rumah Fiqih Akherat ada nggak?. Kan ngajak ribut itu namanya.
Sudah lah nama Indonesia saja. Biarin dibilang sok nasionalis,cukeon aja.
Lagian sebutan Indonesia cukup lah untuk menyatukan kita yang terdiri dari banyak suku dan etnis di Indonesia. Teman-teman di RFI ada yang Betawi, Jawa, Sunda, Minang, Aceh, Makasar, Banjar, Palembang, dan seterusnya.
Tapi kan nggak mungkin lah namanya pakai suku. Masak Rumah Fiqih Betawi? Nggak enak dengarnya.
Apalagi Rumah Fiqih Jawa, Sunda, Minang. Nanti dikira rumah makan. Indonesia saja, lebih adil dan kelihatan bersatu.
oOo
Biar mudah diakses, kita pun tampil di dunia maya dengan mendirikan Sekolah Fiqih. Seluruhnya dijalankan secara daring alias online.
Apalagi masuk zaman pandemi, nge-ZOOM jadi makanan jadi makanan sehari-hari. Setiap hari, dari Senin sampai Sabtu, dua kajian kita gelar, bakda Shubuh dan bakda Isya'. Enam hari kali dua, jadi dalam satu minggu 12 kajian.
Sifatnya gratis tidak berbayar, yang mau ikutan cukup klik rumahfiqih.com/zoom
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
28 Oktober 2021 pukul 06.09 ·