Kenapa Fikih Islamy "kaku"?
Oleh: Fauzan Inzaghi
Kitab-kitab fikih, terutama dalam bab muamalat sesama manusia, fokus penulisannya adalah untuk memahamkan sebuah nilai secara hukum pengadilan. Makanya tidak bisa, dan jangan, diterapkan mentah-mentah dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak, hidup dengan orang sekitar akan hitung-hitungan, layaknya di depan hakim dan pengadilan; ini hak ku, ini kewajiban mu. Kita tidak mungkin hidup dengan orang sekeliling kita dengan cara seperti itu. Maka hukum fikih itu fungsinya, ya, agar tidak ada hak orang yang diambil. Fungsi fikih dalam bab muamalat ini lebih kepada mencegah perpecahan dan mengelola konflik dengan adil.
Adapun level keharmonisan yang menjelaskan cara bermuamalah dengan orang lain itu ada dalam hadis fikih dan kitab adab. Di sana lah penjelasan contoh praktis kehidupan islami tempatnya. Kita naik satu level, dari level hak dan kewajiban ke level harmoni kehidupan, dari level mencegah perpecahan dan pengelolaan konflik ke level hidup yang penuh cinta dan kasih sayang, dari level etika ke level estetika. Yap, fikih tidak mungkin dipelajari sendiri, kan kasian jika sendiri, kesepian. Harus dinikahin, lah. Eits, pembahasan apa sih ini. hahaa
Sebagai contoh, dalam ilmu fikih pembahasan hutang bahwa kalau sudah jatuh tempo dan belum dibayar maka berhak dituntut di pengadilan, tapi dalam ilmu adab dan hadis kita diajarkan samhah. Bagaimana memberi waktu jika dia memang serius dan berusaha sampai dia mampu membayar tanpa harus melibatkan pengadilan. Bahkan, jika perlu, dimaafkan kalau mampu dan dilihat bahwa hutang itu dipakai untuk suatu yang bermanfaat. Jadi ada perubahan level dari sekedar hak dan kewajiban menuju level samhah. Di sini sisi raqaiq adab islamy dan hadis nabawy bersatu dengan fikih.
Dalam fikih, akad kerjasama antara pemilik modal dan tukang, misalnya, kewajibannya cuma memberi gaji, lalu tunggu beres. Kewajiban masing-masing pihak selesai berdasarkan fikih. Tapi dalam kitab adab dan raqaiq levelnya naik, misalnya sesekali datang beli kopi dan kue, atau tambah bonus. Ini levelnya bukan kewajiban, tetapi adab. Begitu juga dalam hidup bertetangga, dalam rumah tangga, dalam hubungan adik dan kakak, ciye adek kakak zone, uda adek-adekan aja nih hahaha
Nah, seorang ustad yang menjelaskan fikih, terutama untuk awam, maka aturan dalam ilmu adab ini harus hadir dalam penjelasan. Jangan sampai ajaran islam dikesankan sangat kaku. Atau, jika sasarannya adalah awam, maka tidak mengapa kitab yang dipilih untuk diajarin adalah kitab adab aja sekalian, tapi kaidah fikih harus hadir dalam penjelasan agar awam mengerti bahwa akhlak tidak boleh jadi pembenaran merusak hak orang lain atau melupakan kewajiban kita pada mitra hidup, baik tetangga, pasangan, rekan kerja, dll, tapi dia harus jadi level lain dari sebuah nilai.
Karena fikih sendiri adalah sepotong dari ajaran islam, begitu juga ilmu adab, maka keduanya tidak mungkin dipisahkan, sebagaimana aqidah dan syariat juga tidak bisa dipisahkan. Jika fikih dijelaskan tanpa memasukan adab ke dalamnya, maka agama akan kelihatan kaku. Jika adab disampaikan tanpa fikih, maka akan ada pihak yang disakiti karena masing-masing akan menuntut lebih dari kewajiban dengan alasan ingin dihargai. Itu tidak sehat dalam kehidupan. Dan jika keduanya dipadukan maka bisa mencegah kata-kata "kenapa selalu aku yang mengalah".
Inilah alasan ilmu fikih dan ilmu adab ini tidak boleh dipisahkan. Dipisahkan itu engga enak tau, karena ada rindu disana hahaha. Jika fikih di wilayah etika benar dan salah, ilmu adab ada di wilayah estetika dan keindahan. Dan Nabi ketika mengajarkan islam, diajarkan dua hal ini secara barengan. Ulama lah yang kemudian menjelaskan lebih rinci mana dari hadis itu wilayah fikih dan dan mana wilayah adab. Itu semua untuk memudahkan dalam mengajarkan ilmu agama secara akademik, yang kemudian dipakai untuk menyelesaikan perselisihan.
Dengan cara ini kita bisa tahu bahwa dalam hadis ini, di sini wilayah hukum dan di sana wilayah adab. Ulama cuma memudahkan saja ketika memisahkan dua ilmu ini. Maka ketika menjelaskan salah satu ilmu, jangan melupakan sejarah kenapa ilmu ini dipelajari terpisah. Jika tidak maka islam akan diajarkan dengan cacat, ibarat orang punya tangan kanan engga punya tangan kiri. Punya kuping engga punya hidung. Keliatannya engga enak, agama juga begitu, saat dijelaskan tanpa satu kesatuan akan kelihatan engga enak dan kadang mengerikan. Padahal agama engga seperti itu, tapi cara kita menjelaskan agama membuatnya kelihatan seperti itu.
Makanya membaca hadis sangat penting, karena jika yang dibaca dalam melihat islam adalah hadis, kita akan mendapatkan fikih dan adab bersatu. Maka dari itu mengajarkan kitab-kitab hadis bagi awam sangat penting, karena di sana mereka akan melihat ajaran islam seutuhnya. Bagi thalib? Belajar hadis menjadi lebih penting lagi karena merekalah yang mengajarkan islam. Tentu dengan tidak meninggalkan ilmu fikih dan adab yang dijadikan pegangan yang menjadi penjelasan sebuah hadis, karena itu adalah hasil istinbat para mujtahid dalam memahami hadis secara ilmiah.
Para pembelajar perlu mempelajari islam secara utuh dan para pengajar perlu mengajarkan islam secara utuh. Jangan sampai ajaran islam terlihat seperti ajaran cacat tanpa kepala, kudisan, dan penyakitan. Adapun level tertentu, seperti muthawwalat, mempelajari fikih secara khusus sendiri tidak mengapa, karena level spesialisasi. Dengan adanya spesialisasi atau takhasus keilmuan ini maka nantinya mereka yang akan jadi rujukan untuk menyelesaikan permasalahan rinci, yang butuh waktu ekstra dalam mempelajarinya. Itu engga bisa dilakukan semua orang, maka dibutuhkan sekelompok orang yang menjadi ahli dalam bidang itu. Itu tujuan keilmuan, bukan wilayah ajaran praktis.
Itu dia pentingnya mengetahui sejarah lahirnya ilmu, agar kita bisa menyampaikan ilmu dengan cara semestinya dan sesuai dengan tujuan sebuah ilmu yang diajarkan secara terpisah. Makanya dalam ilmu apapun, ulama kita selalu menulis Mabadi 'Asyarah. Di dalamnya ada pembahasan tentang sejarah ilmu dan tujuan ilmu. Itu dilakukan agar kita tahu bagaimana sebuah ilmu lahir dan apa tujuannya. Ini agar dalam mempelajari ilmu itu kita paham bagaimana mempelajari ilmu itu sesuai dengan tujuan ilmu itu ditulis, jadi engga melenceng dari tujuan ilmu tersebut. Wallahu alam.
Sumber FB : Serambi Salaf
9 November 2021 pada 18.59 ·