Asy'ariyah Biang Kemandekan?
Di dunia kampus islam masa lalu, STAIN, IAIN atau UIN, biasa terdengar kritik terhadap Asya'irah yang dikambinghitamkan sebagai biang kemandekan umat. Imam Al-Ghazali yang biasanya jadi aktor tertuduh karena secara terbuka beliau mengkritik filsafat dengan analisis yang tajam. Karena filsafat dianggap sebagai induk bagi ilmu lain, maka pengkritik filsafat dipersekusi sebagai aktor yang menyebabkan dunia islam mundur. Simplifikasi yang berlebihan tentu saja.
Tapi itu dulu, sewaktu kebanyakan orang indonesia tidak familiar dengan ajaran Asy'ariyah karena ajaran yang dianut mayoritas ulama ini masih tersimpan di balik dinding pesantren belaka. Saat itu masih jarang santri Asy'ari yang punya gelar kesarjanaan dan apalagi aktif menulis di media. Belakangan wacana seperti itu mulai ditinggalkan seiring literasi masyarakat yang lebih baik. Kalau pun ada dosen yang masih terkungkung dengan wacana usang itu, sebenarnya bisa dimaklumi sebab wajar dalam setiap generasi selalu ada yang "ketinggalan kereta".
Tak ada ajaran Asy'ariyah yang bisa membuat orang menjadi mandek tidak maju-maju atau bahkan terbelakang. Kalau pun dalam ajaran Asy'ariyah ada ajaran untuk tawakkal dan percaya takdir, sebagaimana memang demikian yang diajarkan al-Qur'an, tidak ada satu pun ajaran yang mengajarkan untuk diam, pasif, tidak usah bekerja, atau menjauhi penelitian ilmiah. Asya'irah lah justru yang berhasil menggabungkan aspek takdir dengan aspek ikhtiyar sehingga lahirlah istilah Kasab.
Ulama Asya'irah, selain menjadi ilmuwan di bidangnya masing-masing, semisal ahli tafsir, ahli hadis, ahli nahwu, ahli sejarah, ahli hukum, hingga ahli sosiologi, kebanyakan juga ahli ibadah dan seorang sufi. Ajaran sufistik kental dengan himbauan menghindari cinta dunia dan menomorsatukan urusan akhirat. Namun ini tidak bisa disalahpahami seolah anti kemajuan. Nilai-nilai sufistik sejatinya adalah nilai-nilai mulia yang menjadi inti penting dari peradaban. Ajaran untuk tidak cinta dunia dimaksudkan untuk menciptakan mental yang bersih dari sifat korup, hasud, sombong, egois, kikir dan sebagainya serta untuk menumbuhkan nilai integritas serta keikhlasan yang tinggi. Apa yang hendak dikritik dari sifat-sifat mulia ini?
Demikian juga dengan kritik Asya'irah terhadap filsafat, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kemajuan duniawi. Sejak masa Imam Abul Hasan al-Asy'ari lalu muncul Al-Ghazali yang diteruskan oleh Ar-Razi dan terus dipertahankan hingga kini, akidah Asy'ariyah menentang habis ajaran filsafat ketuhanan yang diimpor dari Yunani. Silakan buka buku akidah Asy'ariyah yang mana saja, kritik terhadap para falasifah (para filsuf) akan mudah ditemukan.
Tetapi perlu digarisbawahi bahwa yang dikritik habis dari filsafat adalah aspek akidah alias ilahiyat, bukan aspek sains. Misalnya, pendapat filsuf yang menyatakan bahwa alam semesta qadim, bahwa Allah adalah 'illat bagi alam, bahwa di hari kiamat nanti jasad tidak akan bangkit kembali dan sebagainya yang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an dan hadis. Mengkritik akidah semacam ini tidak ada hubungannya dengan penelitian sains, membangun gedung bertingkat, mendirikan universitas, rumah sakit dan sebagainya. Tidak pernah Asya'irah melarang matematika, ilmu pengetahuan alam dan ilmu duniawi lain, justru itu dianggap fardlu kifayah dalam arti dalam setiap komunitas wajib ada yang mempelajarinya. Apa yang saya tulis dalam paragraf ini bisa dilacak di buku-buku imam Ghazali sendiri yang biasanya dijadikan kambing hitam itu.
Berbicara soal kemunduran islam, faktornya sangat kompleks mulai dari peperangan dengan agama lain dalam rentetan panjang perang salib, soal ekonomi, perang saudara dan kolonialisasi Eropa ke berbagai penjuru dunia, termasuk dunia Islam. Simplifikasi berlebihan soal ini tidaklah bisa diterima.
Soal membuat universitas, rumah sakit dan aneka fasilitas publik lebih terkait dengan persoalan ekonomi dan manajerial, bukan soal akidah. Mau Asy'ari, Muktazilah, Mujassimah, atau bahkan ateis sekali pun, kalau punya kemampuan finansial dan manajerial yang baik tentu bisa mewujudkan itu dan apabila tidak mempunyai keduanya tentu sulit. Peningkatan kedua hal ini dalam tubuh NU, sebagai contoh, telah menumbuhkan jumlah universitas dan Rumah Sakit NU secara signifikan beberapa tahun terakhir. Berbicara soal kemampuan finansial dan manajerial juga tidak sederhana dan tidak bisa disimplifikasi. Banyak faktor yang terlibat, bukan semata soal keyakinan atau pola pikir.
Yang jelas, semua aliran pemikiran sepakat bahwa orang yang lapar butuh makan, yang sakit butuh berobat, yang pengangguran butuh kerja, yang miskin butuh income tambahan dan yang bodoh butuh pendidikan. Tak peduli akidahnya apa, bahkan jabariyah sekalipun, tetaplah semua sepakat dalam hal ini. Karena itu, semua juga sepakat bahwa etos kerja yang baik adalah penting untuk dunia sebagaimana etos ibadah yang baik penting untuk akhirat. Karena itu, menyimpulkan adanya pengaruh ajaran akidah terhadap maju tidaknya suatu golongan tidak sesederhana itu.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
3 November 2021·