Maulid Dan Santri
Oleh: Syakir Anwar
Bagaimana, handai tolan, sudah penat membaca, mengikuti, atau bahkan berandil dalam debat sejagat tentang maulid Nabi? Jika belum, sisakan tenaga Anda untuk hal-hal lain yang masih menunggu antrian untuk diperdebatkan atau kalau memang berhasrat sekali, sabar sejenak, karena ada perayaan natal dan tahun baru yang akan segera menyapa atau silakan menunggu maulid tahun depan. Berdebat tentang maulid sudah jadi agenda tahunan khalayak apalagi sejak era digital yang memberikan peluang siapa saja untuk menyerang dan membela tentang perayaan kebahagiaan ini. Yang bikin penasaran adalah kapan bidah ini akan berakhir. Pasalnya, saudara-saudara kita yang enggan dan tak sudi bermaulid ini terus berevolusi hujjahnya, mulai dari tuduhan bidah karena tak ada dalil hingga tuduhan membuat hari raya baru. Alhamdulillah para ulama yang rasikh dengan santai dapat menepis syubhat dan tuduhan tak berdasar yang saban tahun terus berganti baju dan penampilan. Skip saja, lah, perkara maulid ini. Masa mengungkapkan cinta dan rasa bahagia saja diperkarakan, macam tak ada pekerjaan lain saja.
Dalam pada itu, maulid kali ini terasa lebih mengena dan spesial karena berbarengan dengan peringatan Hari Santri sejagat dunia fana. Dari pelosok sampai ke ibu kota ucapan dari beragam pejabat dan rakyat biasa berhamburan di jalanan dan media sosial. Terlepas dari aroma politik, kaum bersarung patut berterima kasih kepada presiden yang telah menabalkan hari yang bertepatan dengan resolusi jihad puluhan dekade lalu sebagai hari santri. Bagi masyarakat umum, bisa jadi peringatan hari santri hanya sebatas seremonial belaka. Bagi santri, penuntut ilmu warisan Nabi, momen yang berbarengan dengan maulid ini tidak bisa begitu. Tidak pula baik bagi santri pemula untuk ikut ambil peran dalam debat dan menjawab tuduhan-tuduhan sumbing tentang amalan maulid. Karena tak jarang kurangnya ilmu menyebabkan keinginan baik untuk membela malah bikin lawan bertambah bahan menyerang. Bagusnya para santri newbie menyingkir dulu, ngumpulin bekal. Sebab ini adalah momentum bagi para santri untuk mengukur kembali jarak mereka dengan “Kota Ilmu”, menakar lagi sebanyak apa sudah mereka memberikan diri pada kelanjutan seruan Baginda Nabi.
Setidaknya ada dua sisi yang harus dipertajam kembali oleh kalangan santri agar jarak mereka lebih dekat lagi dengan Nabi, yaitu pribadi dan syariat. Dua sisi ini penting dipertajam, sebab tanpa mengetahui pembawa syariat, laku kehidupannya, mustahil pesan-pesannya akan dipahami dengan benaar dan tanpa pemahaman tentang sabdanya dengan utuh sangat mungkin syariat yang tersampaikan akan terdistorsi atau bahkan tidak sesuai dengan yang Nabi maksudkan.
Pertama, prinadi dan laku kehidupan Nabi. Sisi ini tak dapat diketahui kecuali dengan memperkaya diri dengan pembacaan sirah nabi secara lengkap, tidak berhenti pada Nurul Yaqin saja. Selain itu, majelis hadis-hadis Nab, apalagi hadis ahkam, juga harus kembali digalakkan. Sebab mempelajari Matan Arba'in Nawawiyah dan syarahnya saja tentunya masih jauh dari kata memadai. Begitu juga menelaah kepribadian Beliau dalam kitab syamail dan kitab-kitab yang membahas khashais Baginda Rasul yang sudah jarang dijumpai mesti dihidupkan kembali di ruang-ruang belajar santri agar terbentuk pengenalan Baginda Rasul yang, walau tidak semirip pengenalan para sahabat, setidaknya tidak asing-asing amat lah sang Rasul dari mereka. Kan, aneh rasanya bila Rasul yang ilmunya diwarisi dan dipelajari oleh para santri namun mereka kalah dari para orientalis yang lebih tekun mendalami hingga kemudian lebih memahami dan mengenal kehidupan Beliau?
Kedua, sisi syariat. Bukan, bukan fikih yang menjadi soal, tapi usul fikih yang kini kentara sekali terasa dijauhi oleh kebanyakan santri khususnya sejak menjamurnya pesantren-pesantren yang menyederhanakan ilmu-ilmu keislaman. Mendalami fikih saja dengan modal usul fikih yang tipis sudah terbukti berbahaya seperti yang kita jumpai pada saudara-saudara masjid sebelah. Santri hari ini bukanlah sahabat Nabi yang dapat memahami sabda Beliau hanya dengan mendengarnya. Jarak yang jauh tersebut dapat dipersingkat dengan mendalami – bukan hanya mempelajari sepintas – usul fikih. Keberjarakan waktu dan tempat dengan Nabi membuat ilmu ini sebagai satu-satunya jalan pintas agar santri dapat memahami betul syariat seperti yang dipahami para sahabat. Maka dari itu, belajar usul fikih hanya sampai syarahan-syarahan waraqat saja atau bila pun membaca Jam’u al-jawami’ dan turunannya secara sepintas atau bahkan sepotong-sepotong tidaklah cukup. Sudah saatnya para santri kembali menelaah dan mendalami ilmu ini dan ilmu aqliyah lain demi terlalinnya hubungan yang erat dan dekat dengan sabda sang Rasul. Erat dan dekat sebab dengan didukung ilmu ini pemahaman santri akan mendekati pemahaman para sahabat. Jadi, dengan ilmu usul ini para santri bukan hanya tersambung secara rohani dengan Nabi, namun juga secara istidlali. Salam.
Sumber FB : Serambi Salaf
25 Oktober 2021 pada 20.04 ·