Kitab Terjemah
Oleh Ahmad Sarwat, Lc.MA
Sebelum bisa bahasa Arab, dulu saya paling anti kalau ada orang yang sok kearab-araban, khususnya dalam masalah buku bacaan dan literatur.
Kan sudah ada terjemahannya, kenapa pula sok pakai kitab berbahasa Arab? Biar dbilang keren apa gimana?
Mereka yang punya koleksi kitab berbahasa Arab pun sering saya kritik. Dibaca nggak tuh kitabnya? Jangan-jangan buat pajangan doang ya?
Pokoknya saya sangat tidak respek kalau bicara buku tapi kok berbahasa Arab.
oOo
Tapi itu dulu, jauh sebelum saya bisa bahasa Arab. Sekarang malah jadi kebalikannya. Benar-benar terbalik 180 derajat.
Jadi dulu awalnya saya kan kesal sekali karena tidak bisa bahasa Arab. Bukannya tidak mau belajar, tapi tidak pernah berhasil sampai bisa. Kalau ikutan kursus bahasa Arab tidak pernah absen.
Tapi ya gitu deh. Kursus keburu bubar tapi saya belum sempat bisa bahasa Arab.
Akhirnya saya kuliah di LIPIA, serius nih mau bisa bahasa Arab. Dan Alhamdulillah bisa juga akhirnya.
Namun tekad saya waktu lulus I'dad atau Takmili ingin bikin proyek penerjemahan kitab berbahasa Arab besar-besaran. Saya ingin balas dendam atas penderitaan saya selama ini.
Lalu mulai lah saya buka komputer untuk menerjemah kitab berbahasa Arab ke bahasa Indonesia. Apa yang terjadi kemudian justru di luar perhitungan saya.
Ternyata menerjemah kitab itu tidak mudah. Ternyata banyak sekali uslub dalam bahasa Arab yang saya amat paham maksudnya, tapi kalau diterjemahkan kok malah jadi rusak dan hancur.
Berkali-kali kalimat itu saya edit ulang, bahkan saya sampai diskusi dengan beberapa teman tentang bagaimana alih bahasanya biar pas sesuai dengan aslinya tapi dengan mudah dipahami oleh pembaca.
Ternyata saya ketemu fenomena gunung es. Rupanya ini belum apa-apa, semakin banyak jumlah halaman yang saya terjemahkan, semakin saya tidak pede dengan kualitas terjemahan saya.
Ada dua kemungkinan. Kalau saya terjemahkan apa adanya sesuai uslub bahasa Arab, maka hasil terjemahannya jadi aneh, rusak, lucu dan tidak bisa dipahami.
Sebaliknya, saya bisa saja tidak usah menterjemah, tapi saya ceritakan ulang saja point-pointnya dalam struktur bahasa Indonesia, ternyata hasilnya jauh lebih mudah dipahami.
Tapi tidak semua kata saya terjemahkan, banyak yang perlu saya buang karena tidak perlu, sisanya hanya sekedar pengulangan-pengulangan saja.
Begitu saya minta teman saya yang lulus bareng di LIPIA untuk baca hasil terjemahan bebas saya, reaksinya beda. Kok banyak kata yang dibuang?
Tapi maksudnya paham kan?
Iya sih, tapi tiap kata itu kan punya makna. Kalau dibuang, akan ada banyak makna jadi hilang.
Itulah masalahnya. Khas bahasa Arab itu memang kaya kosakata, sehingga dalam satu kalimat itu bisa kita temukan jumlah kata yang sebegitu banyak, tapi intinya sih itu-itu juga.
Pilihannya ada dua : apa kudu diterjemah semua atau diringkas saja?
oOo
Awalnya saya berpikir, mungkin karena saya masih baru dan belum berpengalaman dalam menerjemah, jadi saya masih belum terlalu mahir.
Maka ngobrol lah saya dengan para penerjemah senior yang sudah banyak menerjemah.
Ternyata jawabannya sama saja. Mereka pun tetap mengalami kendala yang saya alami. Bedanya, kalau saya jadi ragu atas kualitas penerjemahan lalu berhenti menerjemah, sementara mereka tidak ragu lalu jalan terus.
Jalan terus?
Ya buat mereka menerjemah itu tidak usah mikirin apakah pembaca paham atau tidak. Yang penting deadline tercapai tepat waktu.
Target pengerjaan yang ditentukan oleh penerbit kudu tepat waktu, biar honor bisa segera cair. Masalah kualitas penerjemahan, benar apa tidak, bisa dipahami apa tidak, nanti saja mikirinnya.
Wah saya baru tahu ternyata kayak gitu. Nyaris tidak ada beda dengan shooting sinetron striping kejar tayang.
Pantas saya saya sering bingung kalau baca buku terjemahan. Rupanya terjemahan itu ditulis asal jadi. Tidak ada koreksi apalagi quality control.
Naskah terjemahan itu langsung naik cetak begitu saja, karena sudah dikejar deadline. Diiber-uber penerbit.
oOo
Dan yang paling parah ketika penerjemah itu bukan orang yang punya dasar ilmu atas spesialisasi buku yang diterjemahkan.
Misalnya buku ilmu kedokteran berbahasa Arab. Kalau bukan mahasiswa jurusan kedokteran, belum tentu paham isinya.
Biarpun dia orang Arab yang lahir di Mekkah dan tiap hari makan nasi kebuli. Tetap saja tidak akan paham isi buku itu.
Sebab yang diterjemahkan tidak lain adalah modul kuliah mahasiswa fakultas kedokteran. Yang paham dan bisa baca serta nyambung pastinya hanya yang kuliah di fakultas itu saja.
Kalau kuliah di jurusan ilmu santet dan ilmu pelet, pastinya nggak akan pernah bisa paham dengan ribuan istilah kedokteran. Beda jurusan dan jauh sekali.
oOo
Kitab-kitab turats (klasik) itu umumnya adalah modul-modul perkuliahan atas suatu cabang ilmu. Tidak semua pemegang passport Saudi atau Mesir bisa paham waktu membacanya.
Sekarang coba bayangkan, kitab itu dibaca oleh orang Indonesia, yang kemampuan bahasa Arabnya pas-pasan, nggak bisa jauh dari kamus, terus coba menjelaskan ulang isi kitab itu dalam bahasa Indonesia.
Hasilnya?
Kiamat mendadak . . .
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
Kajian· 26 September 2021 pukul 10.39 ·