Islam Kaaffah
Oleh Ahmad Sarwat, Lc.MA
Kita pasti sepakat bahwa kalau berislam itu harus Kaaffah, tidak boleh separo-separo atau sepotong-sepotong.
Dan kalau diminta dalil kewajiban untuk Kaaffah, biasanya kita sodorkan ayat ini :
Hai orang orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara utuh/menyeluruh" (QS. 2:208)
oOo
Saya agak penasaran dengan ayat ini secara konteksnya. Kalau di masa sekarang biasanya para ustadz menerangkan bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan, maka kita harus totalitas dalam berislam.
Tapi kayak apa kondisinya di masa ketika ayat ini turun. Apakah di masa itu ada yang berislam tapi tidak secara totalitas?
Kita buka saja Tafsir Al-Qurthubi (w. 681 H) dan tafsir Ibnu Katsir (w. 774 H), biar clear dan tidak hanya ngarang bebas.
Ketemu penjelasan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, pakar tafsir di kalangan sahabat.
Beliau berkisah bahwa ayat ini turun kepada pengikut nabi Musa dan Nabi Isa untuk menerima dakwah nabi Muhammad SAW.
Kaffah yang dimaksud tidak lain adalah mengimani semua nabi, tidak terbatas hanya Nabi Musa dan Isa saja, tapi termasuk harus beriman juga kepada Nabi Muhammad SAW.
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: نَزَلَتِ الْآيَةُ فِي أَهْلِ الْكِتَابِ، وَالْمَعْنَى، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا بِمُوسَى وَعِيسَى ادْخُلُوا فِي الْإِسْلَامِ بِمُحَمَّدٍ ﷺ كَافَّةً. وَفِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ:" وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثم [يموت(١) و] لَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ"
Atau versi lain seperi kata Muqatil, salah satu mufassir kalangan salaf, bahwa ayat ini melarang para shahabat untuk shalat dengan membaca ayat selain Qur'an, misalnya ayat dari Taurat dan Injil.
Gara-garanya Abdullah bin Salam yang mantan ahli kitab itu minta izin kepada Nabi SAW dibolehkan baca Ayat Taurat dalam shalat.
وَقَالَ مُقَاتِلٌ: اسْتَأْذَنَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ وَأَصْحَابُهُ بِأَنْ يَقْرَءُوا التَّوْرَاةَ فِي الصَّلَاةِ، وَأَنْ يَعْمَلُوا بِبَعْضِ مَا فِي التَّوْرَاةِ، فَنَزَلَتْ "وَلا تَتَّبِعُوا خُطُواتِ الشَّيْطانِ"
Maka ayat Kaaffah ini sebenarnya di masanya diturunkan lebih kepada ahli kitab atau setidaknya mantan ahli kitab yang sudah masuk Islam.
Mereka memang punya sedikit punya masalah dengan urusan totalitas atau Kaaffah. Sebab masih agak melow dengan agama lamanya.
Sedangkan para shahabat yang asli dari bangsa Arab, mereka sih tidak ada masalah dengan urusan totalitas. Sebab mereka tidak punya pembanding baik dalam urusan kitab suci atau pun syariah.
Kenal syariat samawi hanya yang dibawa oleh Nabi SAW saja. Beda dengan para mantan ahli kitab yang sudah kenal banyak kitab suci sebelumnya. Mereka masih punya ikatan batin dengan taurat atau Injil.
oOo
Namun memang demikian lah karakteristik Al-Quran, sebab turun (asbabunnuzul) dan konteksnya (siyaq) tidak harus selalu mengekang pengembangan tafsir dan penggalian hukumnya. Karena ada prinsip kaidah yang terkenal ini.
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Maka sering juga kita temukan jenis tafsir bir-ra'yi yang cenderung menghadirkan tafsir-tsfsir yang agak jauh dari konteks ayat itu turun.
Hukumnya sah-sah saja, meskipun tidak ada jaminan kebenarannya. Tafsir bir-ra'yi itu lebih mengandalkan logika ketimbang riwayat dan sanad yang tersambung kepada nabi, shahabat atau tabi'in.
Para ulama membaginya menjadi Mahmud (terpuji) dan madzmum (tercela).
Yang tercela itu kalau penafiran ayat itu terlalu jauh dari konteksnya. Bahkan bertentangan dengan prinsip dasar syariah.
oOo
Dan kadang banyak juga yang agak kebablasan dalam konsep kaaffahnya. Sehingga masalah yang tidak disepakati kesyariahannya pun ikut dipaksa masuk sebagai bagian dari Kaaffah.
Misalnya, ketika Nabi SAW cebok pakai batu, ternyata ada yang menganggap bahwa siapa yang cebok tidak pakai batu dianggap tidak kaaafah. Harus pakai batu, biar Kaaffah.
Ketika rambut Nabi SAW panjang cenderung gondrong, itu pun dijadikan bahan kaaffahnya. Siapa yang tidak gondrong maka Islamnya belum kaaaffah.
Nabi SAW tidak makan nasi tapi makan roti. Maka difatwakan bahwa siapa saja yang masih makan nasi berarti Islamnya tidak kaaffah.
Maka perluasan teknis Kaaffah itu seringkali kejauhan hingga keluar batas. Setidaknya, jauh banget dari cerita aslinya ketika ayat itu turun dulu.