Alim Mutlak yang Paling Diutamakan
Dulu, sewaktu kami belajar di pesantren murni salaf yang sama sekali tidak mengajarkan pendidikan diluar agama dan tidak menyediakan gelar akademik atau ijazah resmi, kyai murobbi kami rahimahullah memberikan semangat kepada kami yang ketika lulus tidak akan mendapatkan itu semua dengan berkata:
"Gelar [akdemik] dan ijazah itu tidak penting, yang terpenting adalah menjadi seorang yang alim. Orang alim itu layaknya seperti emas. Dimana-mana orang akan mencarinya. Banyak yang bergelar doktor syariat, tapi tidak alim fikih, tidak bisa berbahtsul masail, tidak mampu diajak membahas fikih secara tahqiq dan mendalam".
Kurang lebihnya begitu dawuh beliau. Saya tidak bisa persis menceritakan. Sekedar info, kyai saya adalah seorang yang ilmunya terakui, pernah dijuluki gurunya sebagai kyai yang ilmunya mutabahhir serta pernah belajar dihadapan masyayikh Mekkah saat itu.
Tetapi saat ini, spesifiknya di Indonesia, saya merasakan, bahwa yang bergelar akademik, lebih-lebih dari universitas Timur Tengah, dan yang tidak, secara umum mendapatkan perlakuan berbeda. Walaupun mungkin dari sisi ilmu bisa saja setara atau bahkan lebih baik. Bahkan secara karir dan jabatan di organisasi keagamaan pun juga cenderung dibedakan. Apalagi jika dia anak tokoh, dipastikan karirnya cepat sekali naik dan bisa lewat jalur khusus. Tapi tidak semua pasti begitu. Dan analisis ini sifatnya bisa saja subyektif.
Saya pribadi melihatnya sangat wajar dan manusiawi. Bahkan menurut saya, gelar akademik saat ini cukup diperlukan untuk supaya ilmu kita dan dakwah kita lebih bisa diterima masyarakat secara umum. Tetapi saya tetap pada prinsip bahwa yang alim mutlak yang paling diutamakan.
Apakah anda setuju dengan pendapat saya? Gak setuju saya lempar gethuk. 🤗😀😎
Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur
Kajian · 25 September 2021 pada 07.15 ·