Khilafiyah Abadi
Pengalaman menjawab banyak pertanyaan fiqih, saya jadi mengenali sekian banyak karakter pertanyaan. Salah satunya adalah masalah 'Khilafiyah Abadi'.
Maksudnya?
Dari dulu sampai gini hari, orang terus berdebat dalam masalah itu dan tidak selesai-selesai juga. Dijawab panjang lebar atau dijawab singkat, tetap saja tidak membuat yang bertanya jadi puas.
Dan berikutnya saya akan terus menerima pertanyaan yang itu lagi dan itu lagi. Dan jawabanya juga itu itu juga sih, jawabannya ya masalah itu khilafiyah.
Maka saya kasih judul : Khilafiyah Abadi. Masalah dimana orang-orang, bahkan para pakar dan ulama sekalipun juga ikut berbeda pendapat. Dan tidak kelar-kelar juga perbedaan pendapatnya.
Mulai dari tema fiqih Thaharah, seperti masalah sentuhan kulit suami istri batal wudhu apa tidak. Syafi'i bilang batal dan Hanafi tidak.
Lanjut dengan qunut shubuh, Syafi'i bilang Sunnah Hanafi bilang tidak.
Sampai ke level kekinian, seperti bank, kartu kredit, alkohol, asuransi, bit-coin, crypto currency, alat kontrasepsi, bayi tabung, oplas, dan seterusnya.
Para pejuangnya bertempur membela pendapatnya, melawan pendapat sesama saudara muslim merrka sendiri.
Kadang satu ulama lawan satu ulama. Kadang bawa-bawa nama kelompok, ormas, jamaah dan seterusnya.
Yang paling seru kalau bawa-bawa istilah 'sesuai Quran', kadang pakai istilah lainnya, 'sesuai sunnah'. Kadang dibaging ungkapannya menjadi 'sesuai Qur'an Sunnah'.
Penggunaan label semacam Qur'an Sunnah ternyata dianggap cukup ampuh untuk membujuk orang biar mau ikut opininya.
Sebab secara tidak langsung telah memposisikan lawannya yang beda pendapat di garis offside. Dikesankan lawannya tidak sesuai Qur'an Sunnah.
Padahal memang masalahnya khilafiyah. Mau sampai unta masuk lubang jarum sambil menari poco-poco pun tidak akan kelar urusannya.
Sayangnya, yang sadar adanya masalah khilafiyah abadi ini jarang-jarang. Saya pribadi bisa sadar karena tiap hari mengurusi masalah ini. Sampai akhirnya sadar sendiri bahwa inilah rupanya yang dimaksud dengan khilafiyah abadi.
oOo
Lalu pertanyaannya berlanjut : Bagaimana nanti pertanggung jawaban di sisi Allah? Apakah nanti Allah SWT akan memberi reward kepada yang benar lalu menjatuhkan punnishman kepada yang salah?
Lalu bagaimana kita harus bersikap? Apakah kita wajib memilih salah satunya? Lalu dengan cara apa kita menjatuhkan pilihan?
Bagaimana kalau ternyata pilihan diantara sesama kitasaling berbeda? Haruskah persahabatan di antara kita jadi rusak karena kita beda pendapat?
Pertama, kita harus bedakan dulu masalah yang sifatnya prinsip ushul (dasar) dengan yang sifatnya furu' (cabang). Dan kurang tepat kalau dibagi hanya semata masalah aqidah dan ibadah. Bukan begitu cara membaginya.
Yang benar bahwa dalam tema aqidah pun ada masalah ibadah tetap ada yang Ushul dan ada yang furu'.
Kedua, setiap masalah furu' itu dimungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Bukan hanya mungkin tapi bahkan kudu, musti atau wajib.
Dan berbeda dalam masalah furu' itu tidak tercela. Bahkan para shahabat pun saling berbeda pendapat ketika masih bersama Nabi SAW.
Oleh karena itu mohon jangan jantungan dulu kalau seandainya baru tahu ternyata ada banyak sekali masalah-masalah yang diperdebatkan para ulama tanpa kesepatakan alias jadi khilafiyah.
oOo
Tapi bisa memahami adanya masalah khilafiyah memang bukan perkara yang mudah. Kita perlu belajar dari banyak guru dalam proses perjalanan mengaji yang lama.
Kalaungajinya ikut versi yang serba instan, dijamin susah untuk memahami konsep khilafiyah. Apalagi bila mengajinya hanya mengandalkan semangat pembelaan semata.
Berislam sekedar bereforia, semangat menggebu tapi kurang dari sisi keilmuan.
Semua itu menjadi pe-er lanjutan yangenunggu untuk diselesaikan.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
7 Juli 2021