Bukan Ahli Fiqih
Banyak kalangan yang menuduh saya ahli fiqih. Padahal keliru besar.
Saya bukan lagi merendahkan hati atau sok kalem. Saya lagi serius bukan basa-basi. Ya, serius nih, bukan main-main.
Saya sering dituduh sebagai ahli fiqih. Dan jelas sekali bahwa tuduhan itu terlalu amat sangat keliru sekali lah deh dong.
Kok keliru?
Ibaratnya kita masih sekolah nih ya. Saya duduk di kelas sebagai murid. Di depan kelas ada pak guru yang lagi ngajar. Pelajarannya matematika. Namanya pak Harun.
Coba deh bisa nggak bedakan, dalam bidang matematika, kira-kira pinteran siapa antara saya dengan pak Harun?
Jelas pak Harun, kan?
Nah tahu nggak bagaimana ceritanya pak Harun bisa jadi guru matematika? Apa pas lahir langsung ngajar di kelas bawa-bawa penggaris?
Ya nggak lah. Beliau pastinya dulu sekolah juga, kayak kita-kita. Mungkin juga termasuk anak pintar di bidang matematika. Lalu beliau pastinya kuliah S1, ambil jurusan pendidikan bidang matematika.
Berarti pak Harun itu punya guru yang mengajar beliau matematika. Gurunya beliau itu pastinya punya guru lagi, guru lagi, guru lagi dan terus sampai ke tokoh besar di bidang matematika.
Hmm siapa ya?
Sebutlah misalnya Om Phytagoras yang pintar dalam ilmu ukur bidang. Nah kalau mau menyematkan gelar ahli matematika, tuh Phitagoras aja.
Jangan ke pak Harun atau guru-gurunya, apalagi ke kita di kelas. Kita mah bukan ahli matematika. Kita kita ini cuma murid di kelas yang kebetulan dapat pelajaran matematika.
Segitu doang sih kemampuannya. Bukan ahli dan bukan pakar.
oOo
Tapi kalau diminta menjelaskan hitungan matematika anak SD sih oke lah. Kan hitungan anak SD. Masak nggak bisa.
Asal jangan soal kalkulus, linier atau persamaan-persamaan yang bikin puyeng ya.
Anak saya yang masih Ibtidaiyah itu mungkin iseng menjuluki saya : pakar Matematika. Soalnya kalau pas dapat pe-er matematika dari gurunya, dia bingung dan minta penjelasan matematika dari saya.
Untuk ukuran anak saya, mungkin saya ini dianggapnya kayak Phitagoras. Pintar dan jago matematika. Namanya juga anak-anak.
Ya jelas aja, karena dia bandingkan saya dengan teman-teman sekelasnya yang sama-sama rada puyeng kalau lihat soal matematika. Jadilah saya sosok ahli matematika.
oOo
Dalam ilmu fiqih kurang lebih begitu juga. Saya ini cuma mahasiswa yang sempat duduk di bangku kuliah S1 dan dapat mata kuliah ilmu fiqih selama 8 semester.
Berhubung kanan kiri saya pada bawel tanya ini dan tanya itu terkait fiqih, padahal saya lagi pusing menghafal bahan ujian fiqih.
Ya sudah saya jelaskan saja, hitung-hitung saya lagi murajaah bahan ujian. Dan asyik juga lama-lama, tanpa terasa saya jadi banyak belajar, justru dengan cara mengajar.
Learn by teaching . . .
Dan lama-lama saya pun dianggap oleh mereka ahli fiqih. Padahal bukan banget. Padahal saya lagi kelojotan gimana cara menghafal bahan ujian yang sebegitu tebal.
Usai kuliah pun saya masih saja ditanyai ini dan itu terkait masalah fiqih. Jadi kitab Bidayatul Mujtahid atau Al-Fiqhul Islami Dr. Wahbah Az-Zuhaili dan kitab-kitab fiqih lain jangan jauh-jauh. Saya butuh buat nyontek.
oOo
Mungkin yang sedikit lain dari biasanya adalah karena saya menulis. Banyak tokoh ulama yang jauh lebih pinter dari saya urusan baca kitab kuningnya. Dan bejibun mereka punya koleksi sanad kepada para masyaikh dalam dan luar negeri.
Kadang kalau sudah mulai pada pamer koleksi sanad, saya bisanya cuma menunduk saja. Ya, saya nggak terlalu banyak punya sanad juga sih. Jadi saya menyerah kalah sejak awal.
Tapi memang saya ini suka menulis, menulis apa saja termasuk penjelasan-penjelasan di bidang ilmu fiqih. Bukan maunya saya juga sih menjawab masalah fiqih. Tapi karena tuntutan pekerjaan.
Dalam menjawab pertanyaan itu kan memang harus ditulis. Jadi kerjaan saya tiap hari melototin kitab fiqih sambil melototin layar komputer. Cari, baca dan tulis. CBT lah istilah.
Lama-lama apa yang saya tulis jadi banyak. Dan karena saya tidak mau hasil jerih payah teebuang sia-sia begitu saja, semua file hasil tulisan saya itu saya kumpulkan dan saya susun ulang. Iseng aja dari pada nggak ada kerjakan.
Dulu sih saya suka main game komputer. Tapi saya sudah ke level paling tinggi yaitu level blenek. Tapi masih suka mainan komputer, ya sudah lah, jadinya nulis saja.
Tiap hari menulis, menulis dan menulis. Lama-lama jadi buku. Lama-lama jadi banyak.
Dan tidak salah juga kan kalau apa yang sudah saya tulis bisa dibaca dan dinikmati oleh khalayak. Masak nggak boleh?
Tapi saya tidak punya penerbitan, percetakan apalagi jaringan penjualan buku. Maka buku karya saya saya tarok saja di etalase web rumahfiqih.com/buku yang saya kelola.
Kalau ada yang tertarik untuk memilikinya, saya printkan. Cuma gitu aja sih.
NOTE
Ini bukan iklan dan bukan endors. Ini cuma cerita sekilas bahwa tidak harus jadi ahli fiqih dulu untuk bisa menulis catatan pelajaran yang sempat kita pelajari zaman kuliah dulu.
Biar ilmu yang pernah dipelajari tidak sia-sia. Ingat kata bijak seorang teman : ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Dan juga pesan guru saya Prof. Ali Musthafa Ya'qub sewaktu S-2 dulu :
ولا تموتن الا وأنتم كاتبون
Janganlah kamu mati kecuali kamu sudah jadi penulis.
Kalau saya sih cuma bilang : mahal-mahal beli komputer, percuma kalau dianggurin doang.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
Kajian· 14 Juli 2021·