MENDISKUSIKAN SAYYIDUNA KHADHIR
Para ulama berselisih pendapat tentang masalah sayyiduna Khadhir. Apakah beliau seorang wali atau nabi, dan apakah beliau masih hidup atau sudah wafat. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, bahwa beliau adalah seorang nabi dan masih hidup hingga saat ini – atas ijin dan kehendak Allah -. Bahkan imam Ibnu Shalah rahimahullah menyatakan, bahwa pendapat yang mengingkari beliau masih hidup adalah pendapat yang syadz (ganjil/nyleneh). Sebagian ulama yang lain (minoritas) berpendapat bahwa beliau bukan nabi, tapi wali atau hamba yang salih dan sudah wafat.
Imam An-Nawawi (w.676 H) rahimahullah berkata : “Mayoritas ulama berpendapat bahwa beliau (nabi Khadhir) masih hidup, ada di antara kita. Dan ini perkara yang disepakati di sisi ulama shufi, ahli kebaikan, dan ma’rifat. Sangat banyak dan masyhur adanya berbagai hikayat dari para ulama yang melihat beliau, berkumpul (bertemu) dengannya, mengambil darinya, soal jawab (bercakap) dengannya, keberadaannya di sebagian tempat yang mulia dan baik.”(Syarh Shahih Muslim, jilid XV, hlm. 136. Simak juga Fathul Bari, jilid II, hlm. 75).
Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) rahimahullah berkata : “Karena sesungguhnya Khadhir masih hidup sejak zaman nabi Musa sampai sekarang menurut pendapat yang shahih dalam masalah tersebut.” (Tafsir Al-Qurthubi, jilid III, hlm. 289).
Dan masih banyak lagi nukilan dari para ulama yang lain. Jika masih hidup (sebagaimana pendapat jumhur), sangat mungkin ada orang-orang yang Allah beri kesempatan untuk bertemu dan mukalamah (bercakap) dengan beliau. Telah ada pengakuan sederet ulama pendahulu kita yang menyatakan pernah bertemu dengan Nabi Khadhir. Itu hal yang sangat mungkin, apalagi pengakuan itu muncul dari para ulama yang dikenal dengan ketaqwaan (rasa takut kepada Allah), kesalihan, kejujuran, sifat amanah, serta telah mendapat tazkiyah (rekomendasi) dari ulama sezaman atau setelahnya. Apakah mungkin mereka yang seperti ini kedudukannya sengaja mengarang cerita dusta ? Menurut kami sih, tidak mungkin.
Perbedaan pendapat dalam masalah ini sah-sah saja, karena faktanya memang termasuk masalah khilafiyyah ijtihadiyyah. Masing-masing memiliki dalil dan argumentasi yang ilmiyyah. Yang terpenting, hendaknya kita berusaha untuk senantiasa komitmen dalam merealisasikan adab-adab khilaf yang telah diajarkan oleh para ulama kita. Saling menghormati perbedaan pendapat yang ada, serta tidak memaksakan pendapat kepada orang lain. Diskusi hendaknya juga dilakukan dengan baik dan bermartabat.
Jangan sampai masalah ini justru dijadikan point untuk menyudutkan dan merendahkan orang lain. Apalagi sampai menggunakan diksi-diksi yang terkesan menghina dan merendahkan sayyiduna Khadhir atau pendapat jumhur. Sehingga diskusi yang berjalan lebih terasa aroma “nyinyir” dan “olok-olokannya” daripada nuansa ilmiyyah dan keluhuran adabnya. Ini sangat bertolak belakang dengan tradisi para ulama kita. Mereka mendiskusikan masalah ini, tapi dengan gaya bahasa yang santun, ilmiyyah dan penuh dengan adab. Jika tidak percaya, silahkan dibuka kitab-kitab mereka. Andai di antara kita ada yang tidak sependapat dengan pendapat jumhur, tidak selaknyaknya melakukan hal-hal yang tidak terpuji.
Pembahasan ini juga penting, karena memiliki korelasi dengan agama kita, baik secara langsung atau tidak langsung. Para ulama telah membahas masalah ini di kitab-kitab mereka, baik secara spesifik atau umum. Pembahasan masalah ini akan mudah kita dapatkan di berbagai kitab aqidah, tafsir, syarah hadits, fiqh, akhlak, raqaiq, dan tazkiyah nafs/tasawwuf. Bahkan sebagian ulama sampai mengarang kitab khusus dengan tema ini. Para ulama tidak mungkin membahas suatu masalah yang tidak penting apalagi sia-sia.
Selain mewariskan tradisi diskusi ilmiyyah, para ulama kita juga mewariskan adab. Dua hal ini satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, kita jangan hanya mewarisi perbedaan pendapatnya saja, tapi juga harus mewarisi adab mereka dalam berbeda pendapat. Jangan sampai ruang diskusi hanyalah dijadikan alat dan kesempatan untuk melampiaskan emosi dan dendam kepada sesama muslim. Tujuannya bukan lagi untuk mencari kebenaran, tapi pembenaran dan menjatuhkan ‘lawan’. Hal ini sangat kita khawatirkan menimpa diri-diri kita. Semoga Allah melindungi kita semua. Amin.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
(Abdullah Al-Jirani)
*Gambar hanya ilustrasi
#bersamajumhurulama #pendapatjumhur #adabkhilaf
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
20 Juni 2021