Dari Perahu Hingga Mutiara
Setelah menjadi jelas bahwa syariat, thariqat, dan hakikat merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, Syekh Zainuddin al-Malibary dalam nazam Hidayatul Adzkiya' kemudian membuat perlambang yang telah berkembang di kalangan masyarakat luas,
فَشريْعةٌ كَسفينةٍ وطريقةٌ# كالْبحر ثُمّ حقيقةٌ دُرّ غلا
"Syariat itu bagaikan perahu. Thariqah itu bagaikan lautan. Kemudian haqiqat itu bagaikan intan yang mahal."
Perlambang bahwa syariat sebagai perahu, karena syariat itu menjadi sebab sampai pada suatu tujuan.
Thariqah dilambangkan dengan lautan, karena thariqah adalah tempat tujuan. Dan haqiqat dilambangkan dengan intan mutiara karena adanya kemanfaatan dan keistimewaan (derajat tinggi).
Manusia tidak akan sampai pada hakikat, yaitu intan mutiara, melainkan setelah ia sampai ke dasar lautan yang merupakan tempat bagi intan mutiara. Dan sebelum sampai ke lautan, manusia harus berjuang dengan membawa perahu ke tengah lautan.
Ada pula perlambang lainnya, bahwa syariat itu seumpama kulit, thariqah itu seumpama santan (isi), dan haqiqat itu seumpama minyak.
Artinya, bagaimanapun untuk mendapatkan minyak kelapa haruslah melalui proses pengupasan dan pemerasan isi.
Manusia tidak akan bisa meraih minyak, tanpa didahului dengan meraih santan, dan tak akan mencapai santan jika belum dimulai dengan kulit (sabut) buah kelapa.
Dengan kata lain, untuk meraih hakikat atau substansi kebenaran, haruslah melalui proses dan prosedur yang benar, yaitu dengan jalan syariat dan thariqat.
Sumber FB Ustadz : Yusuf Suharto sedang bersama Yusuf Suharto.
4 Juni 2021 pada 14.00 ·