Beramal Dengan Pendapat Yang Tidak Muktamad
Telah makruf, bahwa di dalam mazhab Syafi’i ada pendapat yang muktamad (resmi/standar) dan ada yang tidak muktamad. Pendapat muktamad merupakan pendapat yang menjadi acuan utama, baik dalam ranah teori maupun praktek (amal). Tapi perlu untuk dipahamai, bahwa yang dmaksud “pendapat yang tidak muktamad”, bukan berarti pendapat itu batil, tidak sama sekali. Tapi hanya kurang resmi/standar jika dibandingkan dengan pendapat muktamad. Pendapat yang tidak muktamad tetap diakui sebagai pendapat mazhab yang memiliki sandaran dalil dan argumentasi yang kuat.
Ada kalanya kita akan mendapatkan sebagian pengikut mazhab Syafi’i yang mengamalkan atau menfatwakan pendapat yang tidak muktamad dalam sebagian permasalahan karena adanya sebab-sebab tertentu. Misalnya : sulitnya mengamalkan pendapat muktamad di situasi dan kondisi tertentu, atau adanya hajat yang mendesak, atau kondisi darurat, atau sebab-sebab lain. Hal seperti ini hukumnya boleh dan tetap dalam koridor mazhab syafi’i.
Syekh ‘allamah Abdullah Baasudan rahimahullah menyatakan : “Ketahuilah ! sesungguhnya para imam (ulama) Syafi’iyyah, mereka memiliki beberapa ikhtiyarat (pendapat-pendapat pilihan sendiri) yang menyelisihi pendapat mazhab Imam Syafi’i yang mereka menjadikannya sebagai sandaran dalam beramal karena sulitnya mengamalkan pendapat (resmi) mazhab. Yang seperti ini sangat banyak dan masyhur. Dan ketika diteliti secara seksama, hal itu tidak keluar dari mazhabnya (imam Syafi’i). Yang demikian itu, karena mungkin dengan istimbath (menyimpulkan hukum dengan metode ijtihad imam Syafi’i), atau qiyas (analogi), atau dipilih dari kaidah yang di susun oleh beliau (imam Syafi’i), atau berdasarkan pendapat lama (imam Syafi’i), atau berdasar dalil yang shahih karena beliau (imam Syafi’i) pernah berkata : “Apabila hadits itu shahih, maka ia adalah mazhabku.”.(lihat gambar terlampir)
Jadi, kita tidak boleh ceroboh menuduh mereka plin plan (tidak konsisten), atau katanya mengikuti mazhab syafi’i kok menyelisihi mazhab imam Syafi’i, atau tuduhan-tuduhan lain. Karena walaupun sepintas berbeda dengan pendapat imam syafi’i, tapi hakikatnya tidak. Seluruh alur istimbath pada akhirnya akan kembali dan bermuara kepada imam Syafi’i, baik secara langsung ataupun tidak langsung, baik secara umum ataupun spesifik.
Mengkritik boleh-boleh saja, asalkan benar-benar memahami deskripsi permasalahan dengan baik, lengkap dan detail. Jangan sampai hanya dibangun di atas asumsi pribadi dan ketidakpahaman terhadap hakikat permasalah yang sedang dibicarakan. Jika tidak atau kurang paham, menahan diri tentu lebih baik. Ketidaktahuan kita tidak boleh dijadikan dasar untuk menyalahkan orang lain. Dan biasanya, seorang yang memaksakan diri untuk berbicara dalam perkara yang tidak dia bidangi, hanya akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang ajaib (nyleneh dan aneh).
Semoga bermanfaat. Salam literasi !
(Abdullah Al-Jirani)
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
27 Juni 2021