Prokes
By. Ahmad Sarwat,Lc.MA
Urusan menjaga protokol kesehatan di masjid perkantoran dan masjid perumahan terasa jauh berbeda.
Sebelum Ramadhan, saya sempat Jumatan di Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia Kebon Sirih. Ketatnya mereka dalam urusan prokes memang amat luar biasa.
Mulai dari seleksi bahwa yang boleh masuk ke masjid hanya karyawan internal saja, sedangkan jamaah dari luar tidak boleh masuk.
Jadi jumatannya bersifat internal, tidak untuk konsumsi publik. Cocok saya dengan prokes seketat itu. Mirip prokes di Masjid Al-Haram Mekkah.
Saya sih sebenarnya orang luar dan bukan karyawan hitungannya, tapi kan saya khatibnya. Jadi malah ditunggu kedatangannya.
Jarak antara jamaah benar-benar kayak di masjid Al-Haram juga. Kalau sela-sela antar jamaah diisi jamaah seperi di hari biasa, bisa muat 4 sampai 5 orang.
Di kantor lain malah khatibnya kudu diswab antigen dulu sebelum ceramah. Tentu jamaahnya hanya internal saja dengan jumlah amat terbatas.
Maka ketika saya khutbah di kantor-kantor seperti itu, rasanya agak tenang dan tidak dag-dig-dug.
oOo
Beda jauh dibandingkan ceramah di masjid perumahan. Meski pakai prokes juga, tapi kualitas prokes seadanya dan terkesan asal-asalan. Kayak cuma syarat doang, tapi esensinya tidak dapat.
Misalnya, masker sih katanya kudu dipakai, tapi cuma buat nutupin dagu dan jenggot. Mulut mengaga terbuka lebar, bicara dan ketawa sambil makan-makan, maka ludahnya pun muncrat-muncrat juga.
Jarak antar jamaah sih ada, tapi cuma setengah meter doang. Nyaris tidak ada jarak. Isi masjid tetap saja berjejal-jejal juga.
Dan karpet ternyata tetap digelar apa adanya. Bukannya digulung dan diangkat. Alasannya banyak jamaah yang merasa dingin duduk di keramik. Padahal sudah diminta masing-masing bawa sajadah.
Jamaah anak-anak kecil keluyuran kesana kemari main petak umpet, jelas tanpa masker.
Tapi itu sih tidak seberapa.
Konon di luar Jakarta prokesnya malah jauh lebih parah lagi.
Saya pernah kunjungan ke desa di wilayah Parung Jawa Barat. Aneh bin ajaib. Sekampung itu tak satu pun warga yang saya lihat bermasker.
Saya rada heran melihat mereka santai saja bergerombol tanpa masker.
Ternyata mereka juga heran melihat saya bermasker. Jadi kita saling heran-heranan.
oOo
Maka peta kajian Ramadhan kemarin itu saya menghindari hadir di masjid komplek perumahan. Sebab rata-rata prokesnya pada amburadul.
Beberapa bahkan sengaja saya batalkan, meski sudah dijadwalkan. Saya seleksi ulang.
Tekniknya saya minta pengurus memotret dan memvideokan suasana di dalam masjid pada hari-hari sebelumnya.
Dari hasil foto dan video yang dikirim pengurus itulah saya akan menilai dan memutuskan hadir atau tidak hadir ke masjid itu.
Masjid dekat rumah malah lebih parah. Saya datang naik mobil, belum sempat turun dari mobil. Karena letak posisi masjid tepat di pinggir jalan, saya bisa mengintip ke dalam masjid.
Ternyata berjejal-jejal isinya. Tak ada protokol kesehatan sedikit pun. Maklum waktu pas lagi ramai karena malam Nuzulul Qur'an.
Mobil pun langsung saya tancap terus, tidak jadi minggir. Kepada panitia saya minta izin tidak bisa hadir. Kebetulan waktu itu memang pas hujan deras sekali juga. Jadi bisa buat tambah alasan.
Hujannya gede banget nih. Iya, ustadz. Kami maklum. Sip . . .
oOo
Yang paling saya sesali, abai dengan urusan protokol kesehatan ini malah diendors oleh para penceramah. Bahkan diselipkan dalil-dalil yang menguatkan kita untuk tidak usah berprotokol kesehatan.
Astaghfirullah.
Ketemu aja pula dalilnya. Yang katanya shalat pakai masker itu tidak sah lah. Vaksin itu saingan perdagangan lah. Virus itu tentara Allah untuk membasmi orang kafir lah.
Virus itu tidak berbahaya lah karena banyak yang sembuh dan yang mati hanya sedikit.
Ada juga yang bilang kalau masuk masjid pasti aman. Wa man dakhalahu kana aminan.
Obrolan hoaks kelas warung kopi kalau hanya sebatas warung kopi sih terserah. Tapi kalau jadi materi khutbah Jum'at dan ceramah umum, rada sedih juga saya mendengarnya.
Heran saya, pada ngikutin siapa sih?
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
16 Mei 2021