PIKIRKAN CIPTAAN ALLAH BUKAN DZAT-NYA
Oleh: Abdul Wahab AhmadIbnu Abbas ra meriwayatkan secara marfu' dari Rasulullah:
تَفَكَّرُوا فِي خَلْقِ اللهِ وَلَا تَفَكَّرُوا فِي اللهِ
"Berpikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan jangan berpikir tentang dzat Allah"
Anjuran tersebut termasuk salah satu yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin dari pihak manapun mereka. Kita dilarang memikirkan dzat Allah sebab kita tak tahu menahu tentang-Nya.
Tapi anehnya, beberapa orang mengklaim bahwa semua sifat yang disebutkan oleh Allah tentang dirinya sendiri bisa diketahui melalui makna literalnya dan itu adalah makna hakikat bukan majas! Kalau memang demikian, maka untuk apa ada larangan? Bukankah sudah jelas semua tanpa dipikir sekalipun?
Kenapa Imam Malik sampai berkeringat dingin ketika ditanya "Bagaimana Allah istawa?" Kalau memang makna istawa sudah jelas adalah duduk bersemayam atau tinggal menetap, lalu apa lagi masalahnya kok beliau malah terdiam, berkeringat lalu menyebut penanya sebagai ahli bid'ah lalu diusir? Bukankah cukup dijelaskan bahwa istawa itu duduk bersemayam tapi kita tak tahu posisi duduknya bagaimana? Kenapa pula orang yang bertanya sampai diusir pakai vonis ahli bid'ah segala kalau cuma dia tak tahu makna bahasanya? Kan tinggal dikasih tahu saja?
Kenapa ketika kita semua membaca hadis istawanya Rasulullah ini:
صحيح مسلم (2/ 978)
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اسْتَوَى عَلَى بَعِيرِهِ خَارِجًا إِلَى سَفَرٍ، كَبَّرَ ثَلَاثًا
"Sesungguhnya ketika Rasulullah bila sudah istawa (duduk menetap) di atas untanya untuk melakukan perjalanan keluar, maka beliau bertakbir tiga kali" (HR. Muslim)
Tak ada seorangpun yang berusaha memikirkan bagaimana istawa-nya Rasul itu? Itu karena meskipun kita tak pernah sekalipun melihat bagaimana fisik Rasulullah dan bagaimana fisik unta yang beliau naiki, tapi kita semua sudah tahu dan paham makna "duduk di atas unta" itu bagaimana. Meskipun kita tak tahu persis bagaimana posisi duduknya Rasulullah di atas unta itu, tapi begitulah yang namanya duduk kita sudah paham dengan jelas. Hal seperti ini tak perlu dipikirkan lagi sebab bagaimana sebuah keadaan dapat disebut "duduk" sudah sangat jelas di benak kita. Tapi kenapa ketika ketika Allah yang disebut beristiwa malah dibilang misterius? Apa yang misterius itu? Kalau soal bentuk dan mekanisme teknis, itu hal lain yang diluar bahasan sebab memang tak ada informasi soal ini, sama seperti mekanisme dan posisi tepatnya Rasulullah istawa di atas unta kita tak punya informasi tentangnya tapi kita paham betul maknanya. Yang seperti ini harusnya bukan dilarang dipikirkan sebab memang sejak awal tak bisa dipikirkan. Sama seperti anda semua mau memikirkan jumlah uang di dompet saya, maka percuma takkan bisa sebab ini adalah informasi yang tak bisa digapai dengan berpikir.
Kenapa juga para ulama hampir semua sepakat mengatakan أمروها كما جاءت بلا كيف "biarkan itu sebagaimana redaksi yang sampai kepada kita tanpa kaifiyah"? Kalau memang maknanya tak misterius dan orang sudah tahu semua, maka kenapa menafikan kaifiyah (bentuk atau mekanisme tertentu)? Bukankah semua makna yang sudah maklum, maka pasti kita tahu betul kaifiyahnya? Kalau ada kata yang kita tak tahu kaifiyahnya apa, berarti kita sama sekali tak tahu dan tak paham makna yang dimaksud apa.
Ketika saya mengucap kata "kaki" maka pembaca pasti tahu bahwa kaki adalah organ tubuh dan bagaimana kaifiyah kaki itu. Soal bentuk detail "kaki" yang saya maksud itu soal lain di luar definisi kaki. Ketika saya mengucap kata "datang" maka pembaca pasti tahu apa itu datang dan bagaimana mekanisme sesuatu disebut datang. Bukankah semua makna ini sudah jelas tanpa perlu dipikir? Lalu untuk apa ada larangan memikirkannya?
Ketika seorang anak Yunani kuno diceritakan bahwa dewanya yang bernama Zeus turun dari puncak Olimpus untuk menemui Hercules, maka anak itu takkan bertanya lagi apa arti kata "turun" sebab semua sudah tahu makna "turun" itu apa. Yang bercerita juga takkan melarang si anak memikirkan bagaimana turunnya Zeus itu sebab semua orang tau bagaimana turun itu. Meskipun si anak tadi belum pernah melihat Zeus dan tak tahu bagaimana bentuk fisiknya dan tak tahu pula Zeus turun pakai apa dengan teknis bagaimana, tapi dia tahu bahwa turun itu artinya berpindah dari tempat/ruang yang lebih tinggi ke tempat/ruang yang lebih rendah. Itulah definisi turun sebagaimana dipahami semua manusia.
Lantas apa yang dilarang dipikirkan tentang dzat Allah itu? Kalau makna seluruh sifat khabariyah itu memang kita semua sudah tahu dengan jelas sesuai definisi yang ada di kamus itu, maka apa lagi yang perlu dipikirkan kok sampai dilarang-larang?
Kenapa pula ketika membuka tafsir ayat وَجَاءَ رَبُّكَ [الفجر: 22] yang secara literal berarti "Tuhanmu datang" ternyata para ulama salaf mentakwilnya, bukan malah mengatakan bahwa Dzat Allah itu sendiri yang datang? Apa sih repotnya memahami kedatangan Allah sehingga para Imam mentakwilnya seperti berikut:
Imam Ahmad:
البداية والنهاية (10/ 327)
وَرَوَى الْبَيْهَقِيُّ عَنِ الْحَاكِمِ عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ السَّمَّاكِ عَنْ حَنْبَلٍ أَنَّ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ تَأَوَّلَ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى: وَجاءَ رَبُّكَ أَنَّهُ جَاءَ ثَوَابُهُ. ثُمَّ قَالَ الْبَيْهَقِيُّ: وَهَذَا إِسْنَادٌ لَا غُبَارَ عَلَيْهِ
"Dan al-Baihaqi dari al-Hakim dari Abi Amr bin Sammak dari Hanbal bahwasanya Ahmad bin Hanbal mentakwil firman Allah "Dan Tuhanmu datang" sebagai "Datang pahala Tuhanmu". Lalu, al-Baihaqi berkata: Sanad ini tak berdebu".
Sayyidina Hasan:
تفسير البغوي - إحياء التراث (5/ 252)
قَالَ الْحَسَنُ: جَاءَ أَمْرُهُ وَقَضَاؤُهُ
"al-Hasan berkata: telah datang urusan Allah dan keputusannya"
Begitu juga Imam Malik, kenapa malah ada riwayat bahwa beliau mentakwil turunnya Allah tiap malam ke langit dunia dengan turunnya rahmatnya, bukan turunnya Dzat-nya:
شرح الزرقاني على الموطأ (2/ 46)
وَكَذَا حُكِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ أَوَّلَهُ بِنُزُولِ رَحْمَتِهِ وَأَمْرِهِ أَوْ مَلَائِكَتِهِ
"Seperti ini juga diceritakan dari Malik bahwa dia mentakwil turunnya Allah dengan turunnya rahmat dan urusan-Nya atau malaikatnya".
Apa sih susahnya memahami bahwa Dzat Allah sendiri yang turun sebagaimana makna yang ada di kamus yang sudah diketahui semua orang itu sehingga turunnya Allah dimaknai turunnya rahmat Allah atau turunnya pahalanya? Kenapa sih kok hal seperti ini dilarang dibahas dan dipikirkan oleh para ulama? Kenapa kita disuruh menetapkan saja sifat yang disebutkan itu (Itsbat as-Shifat) tapi maknanya diserahkan pada Allah supaya lebih selamat?
Jawaban dari seabrek pertanyaan di atas hanya ada satu, yaitu: Sebab makna seluruh sifat itu yang kita pahami dengan jelas maknanya ketika tetapkan pada makhluk tak bisa kita tetapkan pada Dzat Allah yang Maha Berbeda dengan apapun. Ketika kita membaca firman bahwa Allah istawa atas Arasy, maka kita imani itu. Ketika kita membaca firman bahwa kedua yad Allah terbuka lebar, maka kita imani itu. Ketika kita membaca firman bahwa Allah menciptakan Adam dengan yad-Nya, maka kita imani itu. Ketika kita mendengar bahwa Allah turun setiap akhir malam ke langit dunia, maka kita imani itu. Janganlah kita menolak keberadaan semua sifat khabariyah itu seperti Jahmiyah. Tapi Jangan pula kita memahaminya sebagai pemahaman yang kita kenal dan ketahui dari makhluk seperti yang dilakukan Mujassimah dan Musyabbihah. Inilah akidah Ahlusunnah wal Jama'ah sebagaimana diajarkan dalam kitab-kitab Asy'ariyah.
Loh kok malah tidak jelas kalau demikian? Bukan sesuai makna yang dimengerti manusia seperti dalam kamus yang sudah dibaca semua orang itu, tapi juga harus ditetapkan adanya dan tak boleh dinafikan? Nah … di sinilah kita dilarang berpikir itu sebab Dzat Allah di luar jangkauan pikiran kita. Inilah yang disebut tafwidh makna oleh kalangan Asy'ariyah. Bukan berarti maknanya tak ada sama sekali; maknanya ada tapi kita tak bisa menentukan yang mana sebab informasi soal itu terbatas. Lebih selamatnya, kita diam saja. Qira'atuhu tafsiruhu (membacanya itu sudah tafsirnya) kata para ulama, tak perlu ditafsiri lagi dan tak perlu didefinisikan lagi.
Sudah jelas bukan?
Sekarang kita tunggu dan lihat di kolom komentar, barangkali ada yang mau menyanggah tulisan ini dengan mengatakan bahwa maknanya sudah jelas dan diketahui oleh manusia tak perlu dipasrahkan pada Allah. Saya jamin dia tak akan pernah sekalipun berani mengucapkan apa makna yang dia bilang sudah jelas itu apalagi menukilnya dari generasi salaf. Pasti dia hanya berani "MEMBACA ULANG" semua sifat itu sesuai redaksi ayat atau hadisnya dengan mengatakan: Allah istawa atas Arsy, tangan ya tangan, mata ya mata, turun ya turun dan seterusnya. Atau malah lebih absurd lagi dia malah menyifati sifat itu dengan rangkaian sifat yang sama sekali tak menjawab apa makna sifat itu sendiri, misalnya dengan berkata: "tangan Allah adalah tangan yang dipakai menciptakan Adam" atau "tangan yang Allah pakai menggulung langit" atau "tangan yang ada di atas tangan-tangan manusia" dan sebagainya. Jawaban konyol seperti ini sama sekali tak menjawab apa definisi "tangan Allah" yang dipertanyakan. Katanya maknanya sudah jelas tapi ternyata malah muter-muter tak jelas ketika diminta mengucapkan definisinya. Mari kita lihat bersama kekonyolannya.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
10 Maret 2018 ·