MENGERASKAN SUARA DZIKIR SETELAH SHOLAT WAJIB, BERDOSA ?
Oleh : Abdullah Al Jirani
Para ulama’ berpendapat bahwa mengeraskan suara dzikir setelah sholat fardhu adalah boleh. Mereka berdalil hadits Ibnu Abbas – rodhiallohu ‘anhu – beliau berkata :
أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، وقال ابن عباس : كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته
“Sesungguhnya mengangkat ( mengeraskan ) suara dzikir ketika para sahabat selesai dari sholat fardhusenantiasa terjadi para zaman Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam –“. Ibnu Abbas berkata : “Aku mengetahui hal itu, ( karena ) apabila mereka ( para sahabat ) selesai ( dari sholat ), aku mendengarnya” .
[ HR. Al-Bukhori : 805 dan Muslim : 583 ]
Hadits di atas menunjukkan bahwa mengangkat dan mengeraskan suara dzikir setelah sholat fardhu merupakan perkara yang diketahui dan masyhur di zaman nabi – shollallahu ‘alaihi wa sallam -. Perbuatan ini telah dilakuan di zaman Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – akan tetapi tidak diingkari oleh beliau. Maka hal ini menunjukkan akan bolehnya hal itu.Karena seandainya haram ( dilarang ), sungguh nabi – shollallahu ‘alaihi wa sallam – akan melarangnya.
Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar – rohimahullah – berkata :
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ الْجَهْرِ بِالذِّكْرِ عَقِبَ الصَّلَاةِ
“Di dalam hadits ini terdapat dalil akan bolehnya mengeraskan suara dzikir setelah sholat wajib”.
[ Fathul Bari : 2/325 ]
Oleh karenanya, Al-Imam Ibnul Qoyyim – rohimahullah – berkata :
وَمِنْهُ تَقْرِيرُهُمْ عَلَى رَفْعِ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ بَعْدَ السَّلَامِ، بِحَيْثُ كَانَ مَنْ هُوَ خَارِجَ الْمَسْجِدِ يَعْرِفُ انْقِضَاءَ الصَّلَاةِ بِذَلِكَ، وَلَا يُنْكِرُهُ عَلَيْهِمْ.
“Dan diantaranya, adalah taqrir ( persetujuan ) Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam – terhadap para sahabat atas perbuatan mereka mengangkat ( mengeraskan ) suara dzikir setelah salam. Dimana seorang yang berada di luar masjid akan mengetahui selesainya sholat ( beliau ) dengan hal itu. Dan nabi – shollallahu ‘alaihi wa sallam – tidak mengingkarinya”.
[ I’lamul Muwaqqi’in : 2/389 ].
Al-Imam Ibnu Daqiqil Ied – rohimahullah – berkata :
فيه دليل على جواز الجهر بالذكر عقيب الصلاة
“Di dalam hadits ini terdapat dalil akan bolehnya mengeraskan suara dzikir setelah sholat”.
[ Ihkamul Ahkam : 1/264 ].
Dan perlu untuk ditambahkan di sini, sesungguhnya Ibnu Abbas – rodhiallohu ‘anhu – dalam meriwayatkan hadits di atas dengan lafadz كان yang memberikan ma’na istimror ( terus – menerus ).
Pendapat yang memperbolehkan mengeraskan suara dzikir setalah sholat fardhu adalah pendapat jama'ah (sekelompok) ulama’ termasuk di dalamnya Al-Imam Asy-Syaifi’i(secara umum), Ibnu Hazm, Ath-Thobari, Ibnu Baththol, Ibnu Hajar, Al-Mubarokfuri, syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim dan selain mereka.
Pendapat ini juga pendapat yang dipilih oleh para ulama’ besar di zaman ini seperti asy-syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dan yang lainnya.
Asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz – rohimahullah – berkata :
يشرع رفع الصوت بالذكر بعد الصلاة المكتوبة، لما ثبت من حديث ابن عباس رضي الله عنهما قال: «إن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم (1) » وأنه قال أيضا «كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته (2) » ولو وجد أناس يقضون الصلاة سواء كانوا أفرادا أو جماعات وذلك في جميع الصلوات الخمس المفروضة.
“Disyari’atkan untuk mengeraskan suara dzikir setelah sholat wajib berdasarkan apa yang telah shohih dari Ibnu Abbas – rodhiallohu ‘anhu – beliau berkata : “Sesungguhnya mengangkat ( mengeraskan ) suara dzikir ketika para sahabat selesai dari sholat fardhu senantiasa terjadi para zaman Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam –“. Ibnu Abbas berkata : “Aku mengetahui hal itu, ( karena ) apabila mereka ( para sahabat ) selesai ( dari sholat ), aku mendengarnya” . ( hal ini diperbolehkan ) walaupun didapatkan manusia sedang mengqodho’ (menyelesaikan) sholat baik mereka sendiri-sendiri atau berjama’ah. Dan hal ini disyari’atkan dalam seluruh sholat wajib yang lima waktu”.[ Fatawa Lajnah Daimah : 7/116 ].
Asy-syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin – rohimahullah – berkata :
أن الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة
“Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir setelah sholat wajib adalah sunnah”.[ Majumu’ Fatawa Wa Rosail : 17/274 ].
Adapun beberapa dalil yang digunakan oleh sebagian ulama’ yang tidak memperbolehkan mengeraskan suara dzikir setelah sholat fardhu, maka kami akan sebutkan satu persatu kemudian akan kami berikan sanggahan seperlunya. Dalil – dalil tersebut adalah :
Firman Alloh Ta’ala :
واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. [ QS. Al-A’rof : 205 ].
Demikian pula hadits :
"أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تدعون أصمَّ وَلَا غَائِبًا؛ إِنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ"
“Wahai sekalian manusia ! pelanlah/rendahkan suara kalian ! maka sesungguhnya kalian tidak menyeru atau berdo’a kepada Dzat yang tuli atau Dzat yang tidak ada. Sesungguhnya yang kalian seru adalah Dzat yang Maha Mendengar dan Maha dekat”
Mereka berkata : Dalam ayat dan hadits di atas kita dilarang untuk mengeraskan suara dalam dzikir ataupu do’a. Karena Alloh Maha Mendengar dan dekat dengan kita.
Jawab :
Pertama :
Tidak mungkin terdapat pertentangan dalam wahyu yang Alloh turunkan kepada Nabi-Nya Muhammad – Shollallahu ‘alaihi wa sallam -. Di ayat ini dzohirnya Alloh memerintahkan untuk merendahkan suara dzikir akan tetapi dalam hadits-hadits yang lain menunjukkan bolehnya untuk mengeraskan suara dzikir setelah sholat fardhu. Sehinga keduanya tidak mungkin ditolak. Yang bisa dilakukan adalah dengan jalan dikompromikan.
Diantara jalan kompromi, apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Ayat di atas dibawa kepada larangan mengeraskan suara dzikir secara berlebihan. Dengan demikian, ayat tersebut tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya untuk mengeraskan suara dzikir setelah sholat fardhu.
Al-Imam Ibnu Katsir – rohimahulalh – berkata :
قَالَ: {وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ} وَهَكَذَا يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ الذِّكْرُ لَا يَكُونُ نِدَاءً وَ [لَا] (1) جَهْرًا بَلِيغًا؛ وَلِهَذَا لَمَّا سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: أَقَرِيبٌ رَبُّنَا فَنُنَاجِيهِ أَمْ بَعِيدٌ فَنُنَادِيهِ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ} [الْبَقَرَةِ:186] (2)وَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: رَفَعَ النَّاسُ أَصْوَاتَهُمْ بِالدُّعَاءِ فِي بَعْضِ الْأَسْفَارِ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لَا تدعون أصمَّ وَلَا غَائِبًا؛ إِنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ"
“Firman Alloh : “dan dengan tidak mengeraskan suara”, dan demikianlah dzikir itu dianjurkan untuk tidak berupa panggilan dan tidak dikeraskan secara berlebihan. Oleh karena hal ini, tatkala mereka ( para sahabat ) bertanya kepada Rosulullah – shollallahu ‘alaihi wa sallam - : “Apakah Robb kami dekat maka kami akan bermunajat kepadanya atau jauh maka kami akan memanggilnya ? maka Alloh menurunkan ayat-Nya : “Dan apabila para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat, dan aku mengabulkan do’a seorang yang berdoa kepada-Ku”.”[ Tafsir Ibnu Katsir : 18/131 ].
Kedua :
ayat dan hadits di atas adalah untuk dzikir dan do’a secara umum. Sehingga tidak termasuk di dalamnya dzikir setelah sholat fardhu. Karena masalah dzikir setelah sholat fardhu, telah ada dalil yang menunjukkan akan bolehnya mengeraskan suara secara khusus.
Kesimpulan :
Mengeraskan suara dzikir setelah sholat fardhu hukumnya boleh. Bahkan sebagian ulama berpendapat mustahab (dianjurkan). Bukan perbuatan dosa, dan fatwa yang membolehkannya juga bukan syubhat. Tidak mengeraskan dzikir juga boleh. Mari saling menghormati dan berlapang dada dalam masalah ini, serta tetap menjaga persatuan. Ini hanyalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah. Tidak boleh menyesatkan satu dengan yang lainnya. Alhamdulillah Rabbil 'alamin.
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
Kajian · 14 April 2018 ·