Mengapa Shalat Lima Waktu Tidak Membeludak Seperti Shalat Ied?
oleh : Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Kalau menyaksikan bagaimana membeludaknya jamaah shalat Idul Fithri dan Idul Adha yang kadang bisa sampai menuntup jalanan, lalu dibandingkan dengan shalat lima waktu, memang rasanya kok ada yang janggal ya.
Dilihat dari hukumnya, shalat lima waktu itu kan wajib atau fardhu, sedangkan shalat Ied kan cuma sunnah.
Tapi kenapa kok yang hukumnya cuma sunnah justru jamaahnya sebegitu membeludak?
Sebaliknya yang hukumnya wajib malah jumlah jamaahnya biasa-biasa saja? Kadang jamaah shubuh itu, satu shaf pun tidak terisi semua,
Apa nggak terbalik? Atau jangan-jangan ada yang salah kaprah? Atau pertanda apakah ini? Akhir zaman, mungkin?
Dari dulu saya penasaran, kayaknya perlu ada penjelasan. Sampai akhirnya saya ketemu jawabannya, yaitu memang sejak dari desain awal kedua jenis shalat ini berbeda.
Shalat lima waktu memang tidak didesain sebagaimana shalat dua hari raya yang lebih masiv dan kolosal.
Lalu siapa yang mendisain kayak gitu? Ya, siapa lagi kalau bukan Alllah SWT dan Rasul-Nya.
Semua akan jadi clear kalau kita telusuri asal muasal kedua jenis shalat itu di masa kenabian.
Shalat lima waktu memang dilaksanakan di Masjid Nabawi di masa itu. Namun harap diketahui bahwa selain masjid Nabawi, di Madinah saat itu juga ada banyak masjid yang lainnya.
Jadi tidak semua penduduk Madinah musti mengerjakan shalat Jamaah di Masjid Nabawi bersama Rasulullah SAW.
Kita menemukan banyak riwayat yang menyebutkan bahwa ada shahabat yang menjadi imam di beberapa masjid lain. Salah satunya Muadz bin Jabal radhiyallahuanhu. Beliau ini tiap shalat pasti ikut jadi makmum bersama Nabi SAW di Masjid Nabawi.
Tapi setelah itu beliau bergegas menuju masjid kaumnya untuk menjadi imam disana. Nabi SAW pernah menegur Muadz bin Jabal gara-gara mengimami shalat Isya' yang terlalu lama.
Ini adalah salah satu konfirmasi bahwa shalat lima waktu bukan hanya diselenggarakan di Masjid Nabawi saja, tapi di beberapa masjid yang berbeda.
Hal ini tentu berbeda dengan shalat Jumat yang hanya boleh dilaksanakan hanya di Masjid Nabawi saja. Sehinnga masjid-masjid yang ada tidak mengadakan shalat Jumat.
Akibatnya jumlah jamaah shalat Jumat di Masjid Nabawi dipastikan lebih banyak dari biasanya shalat lima waktu,
Namun dibandingkan dengan shalat Idul Fithri dan Idul Adha, tentu ceritanya jadi lain. Kedua shalat ini bukan hanya eksklusif hanya dikerjakan di satu titik saja, namun lebih dari itu bahwa yang diajak serta ikut menghadirinya memang lebih meluas.
1. Baligh
Dalam shalat Jumat, yang wajib mengerjakannya terbatas hanya pada hanya orang dewasa yang sudah baligh, sedangkan anak-anak pada dasarnya kan tidak diwajibkan.
Kalau pun mau diajak ke masjid, hanya sebatas yang sudah mumayyiz saja, kalau yang masih bayi sebaiknya tidak usah diajak.
Namun untuk shalat hari raya, bukan sebaas anak-anak yang sudah mumayyiz bahkan yang masih bayi sekalipun juga diajak bersama ibu mereka.
2. Laki-laki
Dalam shalat Jumat, yang wajib mengerjakannya terbatas hanya pada laki-laki saja. Sedangkan jamaah wanita boleh pilih apakah mau ikut Jumatan atau mau shalat Zhuhur di rumah.
Untuk shalat dua hari raya, para wanita memang diajak serta, termasuk para perawan dan wanita yang haidh sekali pun.
3. Muqim
Dalam shalat Jumat, yang wajib mengerjakannya terbatas hanya yang statusnya muqim saja, sedangkan yang musafir kan memang tidak wajib Jumatan.
Sedangkan untuk shalat hari raya, kita menemukan orang-orang yang tinggal di padang pasir pun menyempatkan masuk ke Madinah untuk bisa ikut shalat dua hari raya.
Uniknya, ketika jatuh hari raya itu di hari Jumat, mereka ikut shalat Ied tapi untuk Jumatannya mereka malah tidak ikut, sebab mereka memang tidak wajib jumatan karena status mereka yang penduduk nomaden (ahlul bawadi).
Jadi dibandingkan dengan shalat Jumat, maka peserta shalat Ied ini jauh lebih banyak sehingga masjid Nabawi pun tidak bisa menampung jumlah jamaah.
Maka dari itulah kenapa Nabi SAW tidak menyelenggarakan shalat Ied di Masjid Nabawi saja?
Jawabannya karena secara teknis, masjid Nabawi memang tidak bisa menampung jumlah massa yang sedemikian besar.
Akhirnya shalat Ied diselenggarakan di padang pasir di luar pemukiman penduduk Madinah.
Jaraknya lumayan jauh juga dari pusat kota, sehingga diriwayatkan ketika Nabi SAW berjalan menuju tempat shalat Ied, beliau sempat melantunkan takbir sepanjang jalan.
Bahkan diriwayatkan Beliau SAW mengambil rute yang berbeda antara pergi dan pulangnya.
Semua itu kemudian memberikan konfirmasi kepada kita bahwa sejak awal konsep shalat Ied itu memang didesain untuk shalat yang lebih massiv dan kolosal. Berbeda jauh dengan konsep shalat Jumat, apalagi shalat lima waktu.
So, jangan nyinyir dulu kalau membandingkan jumlah peserta shalat lima waktu dengan shalat Ied. Soalnya memang demikian konsepnya sejak awal di masa kenabian.
Kita tidak perlu sok alim menyalahkan situasi kayak gini, karena memang kayak gini inilah konsepnya sejak dari zaman kenabian.
NOTE
1. Tulisan ini bukan untuk menyalahkan mereka yang shalat Ied di masjid ketimbang di lapangan. Sebab di Mekkah di zaman yang sama, para shahabat tetap melaksanakan shalat Ied di Masjid Al-Haram. Mereka tidak melaksanakan di padang pasir.
2. Dalam mazhab Asy-Syafi'i, shalat Ied di masjid tetap lebih afdhal yaitu apabila masjid cukup untuk menampung jamaah. Selain itu masjid juga lebih terjamin kesuciannya serta pahalanya tentu lebih besar shalat di masjid.
3. Yang jelas-jelas tidak lagi sejalan dengan contoh praktek di masa kenabian adalah banyaknya penyelenggara shalat Ied, sehinngga sesama jamaah bisa mendengarkan khutbaj Ied di lokasi sebelah.
Tentu ini juga terjadi karena perbedaan zaman, dimana tingkat kepadatan penduduk di masa kita, khususnya di Jakarta, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kepadatan penduduk di Madinah zaman segitu.
Maka dibutuhkan kajian fiqih muashir (kontemporer) yang mempertimbangkan dua fakta di masa lalu dan masa kini.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
14 Mei 2021