Jangan Membahas Masalah Khilafiyyah??!
Ada yang bilang : “Jangan membahas masalah khilafiyyah !”. Ada lagi yang bilang : “Hari gini kok masih ngebahas masalah khilafiyyah.” Ada lagi yang bilang : “Bahas persatuan umat, jangan membahas khilafiyyah melulu !”. Dan masih ada lagi statement-statemen senada. Seruan ini akan semakin keras ketika ternyata kesimpulan fiqh yang ada berbeda dengan pendapatnya atau pendapat kelompoknya.
Eh, mas, masalah fiqh itu mayoritasnya masalah khilafiyyah. Artinya, masalah yang diperselisihkan oleh para ulama mujtahidin. Amat sedikit masalah yang muttafaq ‘alaih (yang disepakati). Jika kita dilarang bicara masalah khilafiyyah secara mutlak, itu artinya sampeyan melarang para ulama dan ustad bicara masalah fiqh. Lalu siapa yang akan mengajari umat tentang fiqh ? Siapa yang akan mengajari mereka tentang masalah thaharah (bersuci), wudhu, mandi, salat, puasa, zakat, dll ?
Membahas masalah fiqh hampir tidak bisa dilepaskan dari membicarakan masalah khilafiyyah. Dan ini tidak masalah. Ini ranah ilmiyyah. Diskusi ilmiyyah itu perkara yang sangat wajar asal dikemukakan dengan baik, sopan, bermartabat, serta didasarkan pada argumentasi yang ilmiyyah. Beda pendapat itu hal biasa. Yang penting saling menghargai, berlapang dada, serta tetap menjalin ukhuwah Islamiyyah dan memotivasi kepada persatuan umat. Membahas khilafiyyah bukan berarti anti persatuan. Jangan mengambil kesimpulan sendiri. Itu zalim namanya.
Para ulama, baik dari kalangan salaf dan khalaf sampai masa kita sekarang ini juga membahas khilafiyyah. Bahkan masalah khilafiyyah ini sudah dibahas dan dibicarakan oleh para sahabat Nabi. Kitab-kitab turats (peninggalan) para ulama menjadi saksi dalam masalah ini. Hampir tidak akan kita temukan sebuah kitab pun, kecuali akan dibahas masalah khilafiyyah di dalamnya, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Seandainya membahas masalah khilafiyyah dilarang, maka tidak akan lahir kitab-kitab tersebut.
Apakah para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, para aimatul huda, para imam mazhab (khususnya yang empat, yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal) dan murid-murid mereka akan dituduh tidak ngerti waqi’ (realita) karena membahas masalah khilafiyyah ?! Tentu tidak, kan ?
Yang terlarang itu, membahas masalah khilafiyyah tapi natijahnya (kesimpulannya) dijadikan alat untuk membangun wala (loyalitas) dan bara (permusuhan). Lalu buat kaidah : “Siapa yang sependapat dengan kami, maka dia ikhwan (saudara) kami. Siapa yang beda dengan kami, maka bukan ikhwan kami. Siapa yang sependapat dengan kami, berarti salapi. Siapa yang beda dengan kami, berarti ahli bidah. Semua umat muslim yang tidak sependapat dengan kami, berarti bukan firqah najiyah (golongan selamat).”
Lha kalau seperti ini, kita sepakat tidak boleh. Kaidah ini batil dan menyelisihi manhaj salaf walaupun yang mengucapkannya mengaku "salapi" sampai mulutnya berbusa-busa.
Sampai sini paham, mas ?? Kalau belum paham juga, sini main ke rumah. Kita ngopi bareng mumpung kue dan snack THR saya masih banyak, he,,,he,,,🙂. Barakallahu fiikum.
(Abdullah Al-Jirani)
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
15 Mei 2021