Fiqih Kontemporer : Zakat Emas dan Perak?
oleh : Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Di masa kenabian dulu dikenal zakat emas dan perak, bahkan juga ada ayat Al-Quran yang mengancam para penimbun emas dan perak yang tidak mengeluarkan zakat dengan ancaman siksaan khas di neraka.
Namun begitu kita telusuri lebih dalam, rupanya emas dan perak yang dimaksud di masa itu bukan berupa perhiasan, melainkan berupa koin uang emas dan perak. Yang terbuat dari emas biasa disebut dinar dan yang terbuat dari perak biasa disebut dirham.
Jadi di masa itu, emas dan perak identik dengan uang yang berfungsi sebagai alat tukar yang lazim digunakan untuk berjual-beli dalam keseharian.
Lalu sisi fiqih kontemporernya yang bikin pusing adalah ketika zaman berubah. Manusia sedunia sepakat dan kompak sudah tidak lagi menggunakan emas atau perak sebagai alat tukar. Fungsi emas dan perak di masa kini hanya sebagai perhiasan, sedangkan fungsi sebagai alat tukar sudah tidak lagi berlaku.
Maka apakah zakat emas dan perak masih berlaku? Padahal sudah tidak ada lagi yang menjadikan emas atau perak sebagai alat tukar.
Disinilah para ulama kontemporer ditantang untuk bisa memeras otak lebih keras lagi. Sebenarnya ketika dulu ketika emas dan perak masih berfungsi sebagai uang atau alat tukar, yang jadi 'illat atas kewajiban zakat itu wujud fisiknya yaitu emas dan perak, atau fungsinya sebagai alat tukar?
1. Pendekatan Pertama : Wujud Fisik
Kalau misalnya kita bilang yang jadi 'illat itu adalah wujud fisiknya sebagai emas, maka uang kertas di masa kita ini jelas tidak wajib kena zakat, karena wujud fisiknya bukan emas dan perak, melainkan kertas.
Bahkan uang zaman sekarang malah sudah cenderung tidak lagi ada fisiknya karena hanya berupa catatan digital dalam komputer (e-money).
2. Pendekatan Kedua : Fungsinya Sebagai Alat Tukar
Tetapi kalau kita katakan bahwa yang jadi 'illat kewajiban zakat itu adalah dari sisi fungsinya yaitu sebagai alat tukar, maka uang-uang kertas yang kita miliki hari ini jadi terkena kewajiban zakat. Padahal tidak berupa emas dan perak.
Sedangkan emas dan perak yang kita punya, tidak wajib kita zakati. Sebab tidak ada lagi emas dan perak yang difungsikan sebagai uang atau alat tukar.
Tukang jualan makanan takjil yang menyediakan es cendol dan biji salak, tidak akan mau dibayar pakai koin emas atau perak. Bahkan meski kita belanja di mall habis sepuluh juta, tetap saja kasirnya tidak mau terima koin emas dan perak.
Kenapa?
Karena emas dan perak bukan alat tukar yang lazim kita gunakan sebagai alat pembayaran. Meski kita sepakat emas dan perak itu nilainya tinggi, tapi tidak lazim digunakan sebagai alat pembayaran.
Sama persis ketika showroom mobil tidak mau dibayar pakai surat sertifikat tanah. Pasti bagian keuangan showroom mobil itu akan bilang begini :
Mohon maaf. Silahkan anda jual dulu tanahnya, lalu uangnya bawa kesini. Karena kita tidak menerima pembayaran dalam bentuk surat sertifikat tanah.
Perbedaan dalam menetapkan 'illat kewajiban zakat inilah yang di hari ini semakin mengerucut menjadi dua kubu besar yang saling berhadapan.
Kenapa bisa begini?
Jawabnya karena kita salah lahir. Seharusnya kita lahir di zaman kenabian, biar tidak ada dikhotomi apakah zakat emas perak itu didasarkan pada wujud fisik emasnya atau didasarkan pada fungsinya sebagai uang dan alat tukar.
Namun karena kita ditakdirkan lahir hari gini, ya mau tidak mau kita terpaksa harus bertemu dengan masalah-masalah kontemporer yang jawabannya sulit kita sepakati.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
11 Mei 2021