Fiqih Kontemporer : Hari Libur dan Liburan
Oleh : Ahmad Sarwat, Lc. MA
Masyarakat perkotaan di zaman sekarang memandang keberadaan hari libur dan mengisi liburan bukan lagi sekedar kegiatan iseng-iseng berhadiah, tapi sudah menjadi kebutuhan pokok yang bahkan disiapkan budget tersendiri.
Tidak seperti zaman dulu di masyarakat pedesaan yang hidupnya agak santai, dinamika dunia kerja di perkotaan sudah sebegitu derasnya, ditambah padatnya jadwal agenda, padatnya persaingan, plus padatnya arus lalu lintas.
Semua itu secara berkelindan membuat tingkat stress masyarakat perkotaan modern menjadi sedemikian tinggi. Akibatnya liburan jadi kebutuhan yang tidak bisa dianggap sepele.
Coba saja perhatikan, bagaimana masyarakat perkotaan seperti DKI Jakarta ini rela memadatkan jam kerja hingga malam, asalkan bisa libur Sabtu Ahad.
Anak-anak sekolah di DKI pun tidak mau kalau juga dengan orang tuanya. Mereka rela untuk keluar pergi sekolah mulai dari azan Shubuh dan pulang hingga 'beduk Maghrib'.
Semua hanya demi bisa menikmati liburan Sabtu Ahad yang lebih panjang.
Padahal dulu saya masih ingat tiap hari mengantar Mbah KH. Djumali, kakek saya ngantor di Balai Desa Banyurejo. Berangkat dari rumah jam 09.30 dan jam 12.00 sudah minta dijemput pulang.
Ngantor di balai desa itu isinya cuma ngobrol ngalor ngidul saja. Jabatan beliau ketika itu kalau tidak salah sebagai KA UR Agama.
Makanya di masa itu mau tiap hari ada tahlilan atau kumpulan di sore hari habis Ashar, pasti yang hadir lengkap satu kampung tanpa terkecuali. Acara habis Ashar itu ngundangnya ya jam 14.00 siang.
Tidak mungkin kita bikin acara yang dihadiri lengkap orang sedesa kalau mendadak kayak gitu. Lagian bikin acara kok habis Ashar? Di Jakarta jam segitu orang semua masih di tempat kerja. Karena banyak yang sampai rumah sudah lewat jam 21.00 malam.
oOo
Coba perhatikan kebiasaan cuti bersama di HKN alias 'Hari Kejepit Nasional'. Dulu nggak ada istilah HKN atau harpitnas, apalagi cuti bersama. Cuti kok bersama? Cuti itu harusnya gantian.
Yah, ini kan cuma penghalusan biar intinya bisa lebih banyak lagi hari libur.
oOo
Lalu apa dan bagaimana konsep hari libur di dalam ilmu fiqih dan hukum syariah?
Adakah ayat al-Qur'an atau hadits nabawi yang bicara konsep hari libur dan mengisi liburan?
Adakah kajian Sirah Nabawiyah terkait dengan konsep libur mingguan atau libur tahunan?
Manakah konsep week-end yang syar'i? Hari Minggu atau hari Ahad?
Tentu saja kita akan kecewa karena tidak ada satu pun baik dari ayat Qur'an, hadits atau pun Sirah nabawiyah yang menyebut-nyebut urusan liburan ini.
Kalaupun mau rada maksa sih, bisa saja liburan itu dikaitkan dengan safar atau perjalanan. Tapi ingat bahwa libur itu tidak selalu bermakna safar dan safar sendiri juga tidak harus liburan.
Misalnya safarnya Nabi SAW dalam semua peperangan, termasuk Fathu Mekkah di tahun ke-8 Hijriyah atau haji di tahun ke-10 hijiriyah. Bahkan peristiwa hijrah itu sendiri juga safar.
Namun semua itu tidak ada satu pun yang dilakukan dalam rangka : liburan.
Kebiasaan orang Quraisy yang melakukan perjalanan di musim dingin dan musim panas, sebagaimana diceritakan dalam surat Qurasih, jelas bukan perjalanan liburan. Itu adalah perjalanan bisnis alias perdagangan dan sama sekali bukan liburan.
Imam Bukhari ketika menghabiskan 16 tahun dari usianya untuk berkelana mengunjungi berbagai negara, jelas sama sekali bukan dalam rangka liburan. Tapi melacak jejak hadits nabawi.
Di berbagai perjalanan itu Beliau berhasil mengumpulkan 80.000 perawi berhasil menghafal satu juta hadis. Jelas bukan liburan pastinya.
oOo
Maka kajian Qur'an, Sunnah serta Sirah Nabawiyah terkait hukum liburan jelas tidak mungkin.
Kenapa?
Karena urf kehidupan di masa itu sangat jauh berbeda dengan urf kita di masa sekarang.
Kehidupan di masa seperti itu jauh berbeda dengan di masa sekarang. Makanya mereka tidak butuh hari libur apalagi liburan.
Di masa sekarang pun, kalau bukan masyarakat perkotaan dengan tingkat stress yang tinggi, juga tidak terlalu repot dengan urusan hari libur atau liburan.
Toh tiap hari memang sudah libur. Jadi ngapain juga liburan? Buat apa libur?
Note
1. Salah satu prinsip dasar dalam memahami fiqih kontemporer adalah memahami 'urf yang berkembang di masa kini pada suatu wilayah dan membandingkannya dengan 'urf di masa kenabian.
2. Tidak semua masalah harus ada dalil nyata di masa kenabian. Sebab zaman itu selalu berubah.
3. Makanya sumber hukum Islam itu tidak hanya sebatas Qur'an Sunnah saja, tapi ada juga Qiyas, Istihsan, Istishab, mashalih mursalah bahkan juga u'rf. Semua itu ada dalam kajian Ilmu Ushul Fiqih.
4. Tapi mereka yang berprinsip apa-apa harus ada dalilnya, kok sepi tidak komentar apa-apa tentang hari libur baik week-end, mudik lebaran atau pun hari tanggal merah.
Padahal harusnya kan bid'ah. Biasanya bilang gitu. Kalau lah liburan itu baik, pasti Nabi SAW sudah melakukannya.
Sepi senyap nyaris tak terdengar . . .
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
25 Mei 2021