السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله الرحمن الرحيم
Bid’ah : Syahwat Tersembunyi Kaum Wahabi
Pada suatu saat seorang Ustadz Salafi Wahabi ngajak saya ikut paham mereka. Saya bilang, boleh, asal tunjukkan dulu satu saja hadits yang menceritakan bahwa Nabi saw pernah membid’ahkan orang lain. Ternyata sampai detik ini Ustadz Salafi Wahabi tadi belum mengirim hadits yang saya minta.
Sunnah dan Bid’ah
Polemik tentang sunnah dan bid’ah muncul disebabkan oleh faktor ghirah (semangat) ingin meneladani sunnah Nabi Muhammad saw pada semua aspek kehidupan. Ghirah yang lahir dari rasa mahabbah (cinta) sebagai manifestasi keimanan kepada Nabi Muhammad saw. Ghirah yang sangat positif dan harus dipupuk dan dirawat sampai ajal menjemput. Mudah-mudahan menjadi washilah (sarana) mendapatkan barakah dan syafa’at dari Nabi Muhammad saw.
Sunnah dan bid’ah menjadi masalah setelah masuknya pemahaman Wahabiyah di kalangan umat Islam abad 19. Kemudian berbuntut panjang. Berawal dari kesederhanaan kalangan wahabi dalam memaknai bid’ah, yaitu segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Bid’ah terkait erat dengan af’al zhahir Nabi saw. Apa yang dilakukan Nabi saw, Sunnah, sebaliknya perbuatan yang tidak pernah dikerjakan Nabi saw, bid’ah. Kemudian berlanjut, pelaku bid’ah dianggap sesat (dhalal), orang sesat tempatnya di neraka.
Kesederhanaan pemahaman wahabi ini memicu sikap saling membid’ahkan termasuk sesama mereka sendiri. Apalagi kepada umat di luar wahabi. Mereka punya “dalil” untuk menyesatkan dan menerakakan umat non wahabi yang sebenarnya untuk mengunggulkan golongan mereka di atas golongan umat yang lain. Secara sosiologi agama, pemahaman ini secara tidak langsung telah menanam benih konflik di tengah masyarakat yang majemuk.
Ghirah mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw tidak diimbangi dengan kesungguhan dalam memahami sunnah Nabi saw secara mendalam, mencerminkan ketidakjujuran ghirah itu sendiri. Ada syahwat tersembunyi di baliknya. Ketidakseriusan memahami makna bid’ah ditutupi oleh jargon kembali kepada Al Qur’an dan Hadits. Padahal Al Qur’an dan Hadits bisa diamalkan setelah dijelaskan maksudnya, dirinci maknanya, ditaqyid kemutlaqannya, ditakhshish keumumannya, dll. Sunnah dan bid’ah secara mutlaq dan ‘am (umum) selain susah diamalkan juga membuka pintu bagi siapapun untuk memvonis orang lain sebagai pengikut sunnah atau ahli bid’ah. Dengan menyederhanakan makna bid’ah yang sangat tercela sebagai lawan dari sunnah, kaum wahabi mengalihkan makna syar’i sunnah menjadi fardhu. Akhirnya dalam paradigma kaum wahabi, hukum syara’ hanya ada dua kategori sunnah (fardhu, sunnat dan mubah) dan bid’ah (makruh dan haram).
Tentang Perbuatan Nabi Saw
Af’al (Perbuatan) Nabi saw jadi dasar wahabi menetapkan suatu perbuatan termasuk sunnah atau bid’ah. Penetapan secara mutlaq dan umum membuat sunnah dan bid’ah menjadi kabur, susah diamalkan, sebab perbuatan Nabi saw mengikuti status dan peran Beliau saw. Secara umum ada 2 peran dalam diri Nabi saw yaitu sebagai pribadi manusia dan sebagai Nabi pembawa syariat.
Perbuatan Muhammad saw sebagai manusia dan Nabi saw memiliki konsekuensi hukum bagi umatnya. Apakah wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Sebagai manusia, Muhammad saw melakukan perbuatan, berjalan, makan, minum, duduk, berbicara, senyum, marah, berpakaian, berkendaraan, dll. Perbuatan Nabi saw sebagai manusia disebut jibiliyah. Hukum asal perbuatan jibiliyah Nabi saw mubah bagi umatnya.
Sedangkan perbuatan Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Allah, ada yang khusus untuk Beliau saw dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh umatnya berupa mu’jizat seperti membelah bulan, Isra Mi’raj, mengucurkan air dari jari tangan, dll. Selain itu ada perbuatan khusus untuk Beliau saw namun haram untuk umatnya, seperti poligami lebih dari empat dan puasa wishal. Ada perbuatan Nabi saw yang wajib bagi dirinya tapi sunnah bagi umatnya seperti shalat tahajjud. Ada lagi perbuatan Nabi saw yang haram bagi dirinya tapi halal bagi umatnya seperti menerima sedekah dan meninggalkan harta warisan. Bahkan ada perbuatan yang tidak dilakukan Nabi saw tapi justru banyak dilakukan umatnya yaitu baca tulis.
Dari fakta-fakta perbuatan Nabi Muhammad saw tadi, mencegah kita dari memahami perbuatan Nabi saw secara nafsi-nafsi sesuai selera syahwat seperti yang dilakukan kaum wahabi. Perbuatan Nabi saw harus dipahami menurut kerangka berpikir tasyri’i. Dalam hal ini Ushul Fiqih. Sehingga pengaitan perbuatan Nabi saw dengan perbuatan umatnya bisa dilakukan secara akurat.
Definisi dan Pembagian Bid’ah Menurut Ulama Salaf non Wahabi
Karena itu ulama Salaf non Wahabi telah membahas bid’ah dengan apik. Mulai dari definisi bid’ah itu sendiri dan pembagiannya. Berikut ini kutipannya:
Imam Syafii:
Imam Syafii membagi bid’ah kepada dua, sebagaimana yang di riwakatkan oleh Imam Baihaqy:
Pertama :
ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا ، فهذه لبدعة الضلالة
“Pembaruan dari hal-hal yang bertentangan dengan Kitab, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka pembaruan ini adalah pembaruan yang menyesatkan”.
Kedua :
ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا ، فهذه محدثة غير مذمومة
“Pembaruan berupa kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu tersebut, maka pembaruan ini adalah pembaruan yang tidak tercela”.
Sulthan Ulama Izzuddin bin Abdis Salam (w. 660 H):
البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم. وهي منقسمة إلى بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة: فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، وإن دخلت في قواعد التحريم فهي محرمة، وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة، وإن دخلت في قواعد المكروه فهي مكروهة، وإن دخلت في قواعد المباح فهي مباحة
Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Bidah terbagi kepada bidah wajib, bidah haram, bidah sunat, bid’ah mubah. Jalan mengetahui demikian adalah dengan menimbang bid’ah tersebut dengan qaedah Syara`. Maka bila masuk dalam qaedah wajib maka ia wajib, jika masuk dalam qaedah haram maka ia haram, jika masuk dalam qaedah sunat maka ia sunat, jika masuk dalam qaedah makruh maka makruh dan jika masuk dalam qaedah mubah maka ia mubah.
Ibnu Atsir (w. 606 H) :
البدعة بِدْعَتَان : بدعة هُدًى وبدعة ضلال فما كان في خلاف ما أمَر اللّه به ورسوله صلى اللّه عليه وسلم فهو في حَيِّزالذّم والإنكار وماكان واقعا تحت عُموم ما نَدب اللّه إليه وحَص عليه اللّه أو رسوله فهو في حيز المدح
Bid’ah ada dua; bid’ah huda dan bid’ah dhalal (sesat). Maka perkara yang menyalahi perintah Allah dan RasulNya berada pada pihak yang di cela dan di ingkari. Sedangkan perkara yang berada di bawah keumuman yang di sunatkan oleh Allah dan di khususkan oleh Allah dan RasulNya maka ia masuk dalam pihak yang terpuji.
Imam Nawawi (w. 676 H)
Imam Nawawi, ulama besar dalam Mazhab Syafii yang mencapai derajat mujtahidtarjih, dalam kitab Tahzib al-Asma` wa al-Lughah :
البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ،وهي منقسمة إلى: حسنة و قبيحة
Bid’ah pada syara` adalah menciptakan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. bid’ah terbagi kepada hasanah dan qabihah.
Ibnu Abdil Bar (w. 463 H) :
وأما قول عمر نعمت البدعة في لسان العرب اختراع ما لم يكن وابتداؤه فما كان من ذلك في الدين خلافا للسنة التي مضى عليها العمل فتلك بدعة لاخير فيها و واجب ذمها والنهي عنها والأمر باجتنابها وهجران مبتدعها إذا تبين له سوء مذهب هو ما كان من بدعة لا تخالف أصلا لشريعة والسنة فتلك نعمت البدعة
Adapun ucapan Saidina Umar, sebaik baik bid’ah, maka bid’ah dalam bahas Arab adalah mencipatakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut menyalahi sunnah yang sudah berlaku maka ia adalah bid’ah yang tidak ada kebaikan padanya dan wajib di cela dan di larang dan di perintahkan untuk di jauhi dan meninggalkan pelakunya bila telah nyata baginya keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah maka itu adalah sebaik-baik bid’ah.
Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H)
Beliau berkata dalam kitab Fathul Bari :
والتحقيق أنها أن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي حسنة وأن كانت مما تندرج تحت مستقبح في الشرع فهي مستقبحة وإلا فهي منقسم المباح وقد تنقسم إلى الأحكام الخمسة
Artinya :dan yang pasti bid’ah itu jika masuk di bawah yang di anggap baik dalam syara` maka ia adalah hasanah dan jika masuk di bawah yang di anggap buruk dalam syara maka ia adalah buruk dan jika tidak (tidak masuk dalam keduanya) maka ia bagian dari hal mubah dan bid’ah itu terbagi kepada hukum yang lima.
Sebagaimana telah kami terangkan sebelumnya, bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa bid’ah secara istilah syarahanyalah perkara-perkara yang tidak memiliki landasannya dalam syara sedangkan perkara baru yang memiliki landasan dalam syaratidak di katakan bid’ah pada uruf syara tetapi hanya di katakan bid’ah secara lughawi. Maka berdasarkan pemahaman ini, kata bid’ah hasanah yang dalam dalam kalam para pembesar ulama ketika membagi bid’ah pada hakikatnya adalah bukan bid’ah.
Imam al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqalani.
والمحدثات بفتح الدال جمع محدثة والمرادبها ما أحدث وليس له أصل في الشرع ويسمى في عرف الشرع بدعة وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة فالبدعة فيعرف الشرع مذمومة بخلاف اللغة فان كل شيء أحدث على غير مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا أومذموما
dan yang di maksud dengan muhdats adalah perkara baru yang tidak ada dasarnya dalam syaradan di namakan pada uruf syara dengan bid’ah. sedangkan perkara yang memiliki landasan dalam syaramaka ia bukan bid’ah. maka bid’ah dalam istilah syaraadalah tercela berbeda dengan bid’ah pada lughat karena setiap perkara baru yang di lakukan tanpa contohnya di namakan bid’ah baik perkara itu terpuji atau tercela.
Dari kalam Ibnu Hajar al-Asqalani tersebut sangat jelas beliau menyatakan bahwa bid’ah dalam istilah syara` adalah sesat. Sedangkan al-Hafidh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri merupakan salah satu ulama yang dengan tegas menyatakan bahwa perayaan maulid adalah bid’ah hasanah.
Dialektika Aswaja dan Salafi Wahabi
Bagaimana proses pengambilan hukum yang kemudian menjadi fiqh ? Pada dasarnya ada titik kesamaan antara aswaja dan wahabi, yaitu sama mengakui bahwa (1) mencari dalam kitabullah (2) mencari dalam sunnah rasul (3) bila tidak ada dalam kitabullah dan sunnah rasul maka dilakukan ijtihad.
Pada prakteknya Wahabi malas berijtihad. Disamping curiga berlebihan terhadap akal (sindrom mu’tazilah), kaum Wahabi merasa ijtihad bukan sunnah Nabi saw. Melakukan ijtihad berarti melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan Nabi saw serta mengakui ada hukum yang tak termaktub dalam Al Qur’an dan Hadits. Bukankah ini bertentangan dengan semangat mereka kembali kepada Al Qur’an dan Hadits.
Tapi Wahabi menolak dianggap mengabaikan ijtihad mereka dengan alibi tidak ada ijtihad dalam ibadah, ijtihad berlaku pada selain ibadah, sehingga dalam hal ibadah tidak dilakukan ijtihad. Di sini berbeda dengan aswaja. Aswaja menyatakan bahwa tidak ada ijtihad dalam ibadah itu dalam hal ushul ibadah (pokok asal ibadah) sedangkan dalam furu’ ibadah (cabang ibadah, seperti teknis) dilakukan ijtihad.
Pada kenyataannya Wahabi tidak konsisten dengan pernyataannya tidak ada ijtihad dalam ibadah, karena dalam hal tertentu pun ternyata menerima adanya ijtihad dalam furu’ ibadah, seperti khuthbah jum’at dengan selain bahasa Arab, konversi zakat fitrah dari kurma ke beras atau uang.
Terhadap sesuatu yang tidak dilakukan oleh rasul, kalangan Wahabi menyatakan bahwa sesuatu yang tidak dilakukan oleh rasul bid’ah dan terlarang (haram). Adapun aswaja memandang bahwa yang haram itu adalah yang dilarang bukan yang tidak dilakukan. Aswaja memandang prinsip dasarnya adalah bahwa yang harus adalah yg diperintah, yang tidak boleh adalah yang dilarang, bila tidak dilarang ataupun diperintah (termasuk yg tidak dilakukan rasul tanpa adanya dalil larangan) maka hukum prinsip dasarnya adalah boleh ijtihad. Kembali Al Qur’an dan sunnah termasuk kembali kepada maksud/keinginan Al Qur’an dan sunnah. Nah hal ini di antaranya akan berkaitan dengan hukum tradisi-tradisi di masyarakat berbagai bangsa, tradisi-tradisi budaya di kalangan kaum muslimin.
Dalam berdalil, Wahabi selalu meminta dalil spesifik sedangkan Aswaja memperkenankan menggunakan dalil umum bila tidak ada dalil spesifik. Contoh : menyatakan tidak ada dalil ngumpul membaca Yasin malam jum’at, karena meminta dalil spesifik berupa perintah atau contoh Nabi ngumpul malam jum’at membaca Yasin. Aswaja memandang kalaupun dikatakan tidak ada dalil spesifik untuk ngumpul baca yasin malam jum’at sudah cukup dengan dalil umum perintah membaca Al Qur’an.
Dalam diskusi hal tersebut berkaitan pula dengan wacana bolehkah ijtihad dalam ibadah. Wahabi memandang bahwa ibadah membaca yasin di malam jum’at tidak boleh karena tidak boleh ada ijtihad dalam ibadah. Aswaja memandang bahwa hal tersebut furu’ saja dan boleh dilakukan ijtihad, karena ushulnya sudah ditetapkan berupa perintah umum membaca Al Qur’an.
Dalam menjatuhkan hukum selanjutnya, Wahabi melakukan inkonsitensi. Wahabi kemudian menyatakan ngumpul baca yasin malam jum’at itu bid’ah dan sesat dengan menggunakan hadits “….kullu bid’atin dhalalatun…”, kenapa dikatakan inkonsitensi, karena hadits tersebut dalil umum, sedangkan wahhabi menyatakan harus dalil spesifik dalam menetapkan hukum, tidak cukup dengan dalil umum. Kalau konsisten dengan harus dalil spesifik, maka harusnya menyatakan bid’ah itu dengan dalil spesifik berupa ayat alquran atau hadits yang redaksinya “membaca yasin malam jum’at bid’ah dhalalah“.
Bila kemudian menyatakan bid’ah dengan menggunakan hadits “….kullu bid’atin dhalalah…” maka secara tidak langsung memperkenankan dan menerima menetapkan hukum dengan dalil umum. Bila memperkenankan dan menerima menetapkan hukum dengan dalil umum, maka ngumpul baca yasin malam jum’at harus diterima bahwa itu cukup berdalil dengan dalil umum perintah membaca Al Qur’an.
Ghirah kaum Wahabi untuk mengikuti sunnah Nabi saw (ittiba sunnah) dan kembali kepada Islam yang murni (ruju’ ila Al Qur’an wa Hadits) secara serampangan menimbulkan dampak negatif bagi ketentraman umat. Hal ini menyalahi maqashid syari’ah. Tentunya juga menyalahi maqashid sunnah Nabi Muhammad saw itu sendiri. Semoga semangat kaum Wahabi dalam membid’ahkan, bukan lahir dari syahwat tersembunyi mereka.امين
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم
Sumber FB Ustadz : facebook.com/muhammad.djauharui
25 Mei 2021