BERDALIL DENGAN JAUHAR DAN ARADL
Ada banyak cara untuk meyakini kehebatan Allah dan kemahasuciannya dari segala kekurangan. Ada cara yang sederhana, misalnya cukup dengan melihat dunia ini, maka yang melihat dengan hati jujur dan akal sehat akan sampai kesimpulan bahwa penciptanya pastilah sangat hebat. Ada juga cara yang rumit tetapi ilmiah dan kokoh, misalnya cara yang dilakukan oleh para mutakallimin.
Di antara resep manjur para mutakallimin untuk menyucikan Allah dari kekurangan adalah dengan menyatakan bahwa bukanlah Jauhar atau pun Aradl. Tetapi tidak semua ulama memahami apa maksud istilah tersebut dan apa tujuannya sebab memang tidak semua ulama adalah mutakallimin. Mereka yang hanya menyibukkan diri dalam bidang fikih, tafsir, hadis, tasawuf dan lain sebagainya sangat mungkin kurang sreg dengan thariqah (metode mutakallimin).
Sebagai contoh, salah satu yang tidak sreg tersebut adalah Syaikh Abul Mudhoffar Ibnu as-Sam'ani. Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menukil kritik beliau pada thariqah mutakallimin yang menurutnya adalah thariqah baru yang mengada-ada dan salah. Rasulullah tidak pernah mengajarkan bahwa Allah bukan jisim ataupun 'aradl dan tanpa metode itu juga cukup kok, begitu poin utama kritik beliau. Selengkapnya bisa dilihat di SS. Tentu saja, kalangan pendaku salafi girang dengan kritik semacam ini sebab bisa dijadikan senjata untuk menyerang Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah).
Sebelum dibahas, perlu diingat bahwa Ibnu Hajar sendiri adalah Asy'ariyah. Ini bisa dengan mudah diketahui melalui narasi-narasi beliau dalam pembahasan sifat Allah yang coraknya Asy'ari sekali. Hanya saja beliau bersikap objektif dengan menukil pula orang yang tidak setuju terhadap thariqah mutakallimin.
Kemudian kritik Ibn as-Sam'ani sendiri sangat lemah. Coba ditanya apakah Allah seperti manusia, seperti hewan, seperti kayu, seperti batu, seperti udara, seperti warna, seperti energi, seperti gas dan seterunya... disebut seluruh isi dunia satu persatu, maka pasti beliau Ibn as-Sam'ani, dan siapa pun, akan menjawab: "Tidak, Allah tidak seperti itu".
Nah agar tidak panjang dan bertele-tele, mutakallimin langsung meringkas bahwa isi dunia ini bisa dibagi menjadi dua kategori, yakni: Jauhar dan Aradl. Jadi Allah bukan Jauhar atau pun Aradl sebab tidak ada yang sama dengan Allah. Beres dan simpel. Adakah yang salah? Tentu tidak.
Kalau cuma soal istilahnya baru, maka seluruh ilmu islam yang ada sekarang punya istilah baru yang tidak pernah diucapkan Nabi Muhammad dan para Sahabat sebab seluruh rumpun ilmu mengalami perkembangan. Bahkan pembagian hadis menjadi shahih, Hasan dan dloif saja tidak pernah diajarkan oleh Rasul. Masak hanya gegara generasi belakangan memakai istilah baru yang ilmiah lantas mau dibilang thariqah rusak? Imam Abul Hasan al-Asy'ari membahas kritik semacam ini dalam kitabnya yang berjudul Istihsanul Haudl Fi Ilmil Kalam. Bisa dibaca sendiri selengkapnya bila berkenan.
Lalu apakah semua orang tanpa terkecuali wajib memakai thariqah mutakallimin yang rumit itu? Setahu saya tidak ada mutakallimin yang mengatakan begitu, karena itu tidak bisa disimpulkan bahwa seolah mutakallimin menyalahkan orang yang tidak memakai metode mereka. Asalkan sudah benar akidahnya maka tidak akan ada mutakallimin yang menyalahkan, tidak peduli dia sampai pada kebenaran akidah itu dengan cara apa. Saya pernah mengulas ini di NU Online dengan judul "Wajibkah Orang Awam Belajar Argumentasi Ilmu Aqidah?", silakan dibaca apabila berkenan.
Kemudian perlu diketahui bahwa ilmu kalam disusun untuk meluruskan akidah orang-orang yang terkena syubhat, semisal orang kafir atau kelompok ahli bid'ah yang utamanya adalah Falasifah. Ingat, istilah ahli bid'ah di masa lalu adalah khusus bagi penganut akidah sesat, bukan soal ikhtilaf fikih semacam qunut atau sejenisnya. Jadi target mutakallimin bukan orang-orang seperti Syaikh Ibnu as-Sam'ani yang tanpa memakai istilah Jauhar dan Aradl pun sudah benar akidahnya.
Contoh sederhananya begini, dalam ilmu kalam dibahas panjang lebar soal wujud yang ujungnya sebagai pembuktian bahwa Allah itu wujud meskipun tak ada dari kita yang pernah melihatnya. Argumentasi panjang lebar itu untuk siapa? Tentu untuk mereka yang mengingkari wujud Allah dengan berbagai argumen syubhat. Kalau orang awam yang dengan pikiran sederhananya sudah yakin betul bahwa Allah wujud, bahkan misalnya pocong saja dia yakini wujud, maka dia tidak perlu menguasai argumen ilmu kalam yang rumit soal wujud. Tetapi salah besar apabila kemudian dia berkata: "Ah.. Itu bahasan wujud di kitab ilmu kalam tidak diperlukan, buang-buang waktu dan percuma". Mungkin dia percuma membaca itu sebab dia sendiri tidak membutuhkannya, tetapi mainnya kurang jauh sehingga tidak sadar bahwa bagi orang lain itu penting diketahui.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
4 Mei 2021